Jumat malam Bar mengirim BBm ke Gatot .
” milu isuk hiking ka cibareubeuy jeung wanbar?” wawan barang maksudnya
“hayang oge sih geus lila teu hiking..tadina rek ka subang.”
“kaluar hiking na di ciater, balik hiking we ka subang na”
Lama tak ada balasan, kelihatannya Gatot sedang berpikir. Esok hari Sabtu Bar dan Wawan memang agenda hiking survey jalur ke curug Cibareubeuy. “Tapi ulah sore teuing balikna nya, urang rek tuluy ka gunung Puntang,” pesan Wawan mewanti-wanti. Bar mengiyakan, ia pun perlu secepatnya turun ke Bandung untuk aplus toko.
Menurut perhitungan Bar, hiking Cikole-curug biasa ia tempuh sekitar dua jam jadi bila bergerak jam 9-10 pun tenggat waktu Wawan masih terpenuhi.
Esoknya pagi-pagi mereka bertiga bersiap hiking, sebelum ke Lembang menyempatkan dulu mampir ke sop buntut Dahapati di jalan Anggrek. Disana sekedar say hello dengan rombongan lain yang akan ke Subang. Ada kang Ai dan keluarga, kang Yuno, Opik, Diki, Asnur dan Mas. Setelah obrolan pagi yang hangat, kedua rombongan pun berpisah jurusan.
Tiba di Cikole pukul 10 cuaca terasa muram dan basah, ketiganya langsung bergerak menuju hutan yang diselubungi kabut. Rencananya pergerakan akan dilakukan dengan cepat alias blitzkrieg. Dari Cikole, bagi yang belum pernah sebaiknya cermat memilih jalan di persimpangan. Disini banyak trek yang menuju ke segala arah. Trek ke curug Cibareubeuy sendiri bisa lewat Wates atau Batu Ringgit. Lewat Wates lebih singkat, maka jalur itulah yang dipilih.
Selepas tanjakan mereka tiba di pertigaan kebun kopi, Wates ke kiri dan Cikidang ke kanan. Sambil sejenak menarik nafas, Bar mengontak Bais yang juga sedang mendamping hiking ke curug dari Wates. Sementara mereka dari Cikole.
Rupanya rombongan Bais ada di depan mereka.
“Urang geus asup leuweung” jawab Bais. Artinya hanya 10 menit didepan mereka. Tak lama kemudian ketiganya berhasil mencapai rombongan depan yang memang berjalan lambat. Bais memang tak bisa bergerak cepat, rombongannya mengaping Sonny sohib tunanetra yang sebelumnya juga pernah hiking di Dago Pakar ( lihat Tuna Netra Penakluk Patahan Lembang ). Disini ada Yusa, Wawan dan Dea putera Sonny sekaligus penuntunnya. Telah jauh didepan mereka rombongan ibu-ibu dan anak kecil didampingi oleh Sake.
Sambil kedua kloter bertukar obrolan hangat dihutan, ada dilematis yang menggelayut. Ketiganya berniat melakukan blitzkrieg supaya bisa cepat kembali ke Bandung, namun rasanya tak elok meninggalkan begitu saja kloter Bais yang sudah terpencar ini. Situasi yang sulit.
Mendung yang sejak pagi tadi menggelayut akhirnya tak lagi menahan-nahan airnya. Tak tanggung-tanggung, hujan seperti tumpah ruah di hutan. Tanpa dikomando, Bar, Wawan dan Gatot pun berpisah. Bar membantu mengaping rombongan belakang, sementara Wawan dan Gatot mengaping rombongan depan.
Diguyur hujan deras, jalur setapak ini bagai menjadi selokan. Setiap orang bergantian serodotan di jalur licin. Sliding tackle, menurut Yusa. Alat bantu yang dibawa hanya webbing sepanjang tiga meter.
“Pegang webbing, Son…mepet kiri..mepet kanan..parkir..” begitulah sepanjang jalan mereka membantu Sonny yang dituntun puteranya Dea melangkah setapak demi setapak. Bar, Bais, Yusa dan Wawan bergantian menjadi leader dan sweeper. Webbing mereka gunakan sebagai jangkar man to man bagi pegangan Sonny.
“Lepas webbing..” maka yang dibelakang melepas webbing, Sonny berganti memegang webbing dengan menjangkar pada orang yang didepan. Begitulah seterusnya bila jalur dianggap terlalu curam, bila cukup memadai untuk dilalui webbing pun digulung.
Jalur Cikole-curug Cibareubeuy yang biasa dilalui dua jam-an akhirnya berhasil dilewati setelah melewati perjalanan jatuh bangun selama hampir lima jam. Walau dibantu oleh para pengaping, kita harus memberi salut kepada kegigihan Sonny yang tuna netra melewati jalur curam ini setapak demi setapak.
Setelah beristirahat untuk makan di curug bersama seluruh rombongan, Bar, Wawan dan Gatot permisi bergerak pulang lebih dulu. Walau dengan berat hati, mereka beranggapan jalur yang penuh resiko sudah terlewati, sementara trek dari curug untuk pulang tidaklah terlalu sulit. Apalagi hujan sudah mereda tinggal gerimis.
Mereka bergerak cepat menuju Cikole, pukul setengah enam ketiganya sudah tiba di buper. Namun target waktu ketiganya sudah luput terpenuhi. Semua rencana awal berantakan, tapi bukankah memang begitu biasanya di medan operasi? Tak ada yang menyesali, karena mereka merasa telah melakukan apa yang harus dilakukan. Doing the right things. Terkadang dalam sebuah situasi, kita hanya harus melakukan apa yang harus dilakukan. Sesederhana itu.