Doroncanga merupakan titik awal pendakian dan merupakan Pos I, Doro berarti Gunung, Ncanga berarti Cagak. Jarak tempuh dari kota Dompu ke Doroncanga sekitar kurang lebih 3 jam.
Perjalanan ini kami lakukan pada tanggal 3 November 2014. Jalur ini dimulai setelah jalan aspal mobil berbelok ke arah kanan dan masuk kawasan Tambora, jalur savana luas, panas, relatif landai dan sangat berdebu, pakailah masker dan sunglass, tidak ada air di Pos I, makanya kita sudah persiapkan mengambil persediaan air di mata air Hodo. Binatang yang hidup di vegetasi Pos I adalah kerbau, Kuda, Monyet dan Menjangan, hutan perdu dan belukar, beberapa kali mobil kita berpapasan dengan Kerbau dan Kuda.
Dengan kendaraan 4×4 Toyota Hardtop Kanvas tahun 1974 kami berempat memulai perjalanan dari kota Bima menuju kota Dompu jarak tempuh kurang lebih 1 jam, berhenti di Pasar Wodi daerah Woja untuk membeli logistik basah dan kering, 30 menit kemudian berhenti lagi di kecamatan Mangga Lewa membeli lauk dan nasi, selanjutnya berhenti lagi di Pasar Soro kecamatan Kempo membeli ikan kering, 1 jam kemudian sampailah kami di kota kecamatan Pekat, sepanjang jalan penuh dengan kebon jambu mente dan juga ada pohon duwet, beruntung saya bisa sedikit mencicipi jambu mente dan juga buah duwet.
Satu jam lebih kemudian sampailah kami di Pos II, kami beristirahat sebentar menyantap lauk pauk dan nasi yang tadi kita beli, kami berempat duduk di Beruga, semacam pondok terbuka untuk rehat hanya dipayungi atap seng. Hawa mulai terasa sejuk dan pepohonan semakin hijau dan rapat.
Perjalanan dilanjutkan menuju Pos III, jalanan mulai menanjak dan turun naik melewati batu-batu besar, mobil dan isinya seperti mau tumpah dan badan kita terguncang2 dengan hebat, harus kuat pegangan, offroad sudah dimulai dan hanya driver yang pengalaman penuh dengan skills bisa melewati jalur yang menurut saya lumayan extreme, 30 menit sebelum sampai Pos III kita mencari air yang yang berasal dari embun, kalaupun tidak banyak kami bisa mengambil air. Puncak Tambora mulai terlihat begitu gagah walaupun kabut mulai turun semuanya sangat indah.
Saat Matahari hampir tenggelam sampailah kami di Pos III, jarak tempuh dari Pos II sampai Pos III (1.800 m dpl) sekitar 1,5 jam, kami mulai turun dan mengosongkan mobil menuju Beruga dan persiapan memasak air hangat karena udara sudah mulai dingin dan angin di Pos III mulai kencang. Matahari tenggelam begitu sahdu, pemandangan puncak tertinggi terlihat begitu jelas dan dekat, jalur Pancasila disebelah kiri atas terlihat dari kejauhan begitu rapat hijau menuju puncak dan kaldera, pemandangan sangat menakjubkan, Beruga berada ditengah-tengah padang ilalang yg hijau dan pohon edelweiss bertebaran. Aroma pohon Cemara gunung mulai terasa mewangi.
Semakin malam angin semakin keras dan kencang, sehingga saat jam 3 dini hari kita bangun dan menunggu angin mereda tidak ada tanda-tanda angin berhenti, Pemandu bilang kalau angin masih keras kita tidak bisa naik ke puncak. Syukurlah esoknya angin sedikit mereda kami pun mulai mendaki dengan membawa perbekalan snack bar, biskuit, coklat, buah2an dan air mineral.
Jam 9 pagi mulailah kami mendaki, dan jalur langsung menanjak, semakin naik semakin tajam dan panas tentunya karena pepohonan yang tumbuh hanya perdu ilalang edelweiss dan pohon cemara, langit mulai membiru, kami sudah tidak memikirkan lagi untuk mendapatkan sunrise, hanya beberapa saat saja kami istirahat untuk makan snack dan minum, pemandu sangat diperlukan karena jalur tampak sama, kalau tidak ada pemandu kemungkinan besar kita bisa mengambil jalur yang salah yang akan mengakibatkan semakin lama sampai di puncak.
Saya sangat menikmati pendakian ini setelah hari kemarin begitu pegal dan penat di atas Hardtop, saat ini bisa berjalan mendaki santai sambil memotret beberapa view dan rasanya segar. Beberapa ekor monyet dan babi terlihat dalam perjalanan.
Setelah mendaki hampir 2 jam lebih kami beristirahat agak lama, sambil melihat pemandangan lepas dan luas ke bawah, setelah itu kami melanjutkan pendakian dan berhenti lagi untuk mengheningkan cipta dan mendoakan Alm Pak Wamen ditempat dimana beliau meninggal.
Perjalanan ke puncak semakin panas, pohon Cemara sdh jauh tertinggal dibawah, matahari seperti ada 10, gerah tiada terkira, sekitar jam 12 an siang sampailah kami di puncak Tambora, dengan mengucap syukur kami semua bersalaman saling memberi selamat, dan mulai berfoto membidik kaldera, langit, dll.
Saya begitu takjub menyaksikan kaldera yang sangat luas dan besar, selama belasan tahun perjalanan saya mendaki gunung, inilah kaldera terbesar yang pernah saya lihat, sangat spektakuler saya pikir apalagi kalo pas ada sunrise, tapi sekarang pun sudah sangat keren.(Nurlaela Ramli)