Pengalaman Kawal Medis dalam Expedisi Gigantic River Cave di Lao PDR

lindaby Linda Rosiyani

Selama berada di lokasi desa terakhir di desa Ban Non Phing, saya sebagai paramedik membagi tugas dengan anggota tim yang juga melakukan eksplorasi, yaitu Ghuvi. Kepadanya saya sempat memberikan pelatihan singkat bagaimana melakukan infus kepada seseorang, bagaimana kondisi yang menyebabkan orang harus diinfus dan juga mengajarkan bagaimana cara menjahit luka di bagian kulit. Terus terang saja sedikit cemas jika sampai terjadi masalah di dalam gua yang memiliki kegelapan abadi. Jika tidak hati-hati, batu batu di dalam gua bisa menyantap kulit dan bahkan bisa merobek urat. Yang paling saya khawatirkan adalah robek urat nadi, alhamdulillah itu tidak pernah terjadi.

Selama di desa Non Phing, saya sempat memperhatikan kehidupan dari masyarakat sekitar. Mereka pada dasarnya telah mengerti bagaimana hidup bersih, ini saya amati dengan kebiasaan mereka membuka alas sepatu ketika masuk rumah panggungnya, mereka juga mencuci dulu peralatan makan yang akan mereka gunakan. Sayang saja mereka mencuci peralatan tersebut dengan air dingin, yang notabene hanya bisa membersihkan alat dari debu.

Dari pembicaraan saya dengan tour guide dari distrik boua ra pha, nona Som Phon, akhirnya diketahui bahwa ada seorang anggota masyarakat desa Non Phing yang sedang sakit. Ia bernama May, seorang laki-laki muda yang berprofesi sebagai kepala sekolah dasar desa tersebut. May, yang belakangan saya ketahui adalah sepupu dari Som Phon, saat itu mengalami demam tinggi sampai beliau menggigil. Saya diminta oleh Som Phon untuk memberikan obat. Saya pun mendatangi May dan mendapatinya dengan muka pucat, bibir memutih dan mata sayu. Panas badan May tinggi, kebetulan saya tidak lupa membawa termometer, saat itu suhu badan May 39,8 derajat celcius. Saya bertanya kepada May, apakah ia mengalami ini dalam jangka waktu yang lama, May menjawab bahwa ini hari keduanya menderita demam tinggi. Saya pun mengeluarkan perbekalan farmasi saya

Saat itu saya tidak bertanya dulu kepada Ketua Tim yang saat itu dijabat oleh Dwi Jaya Andika Siregar karena posisi sedang mengeksplorasi gua hari pertama. Obat yang saya berikan untuk May adalah antibiotik ciprofloxacin, yang merupakan antibiotik spektrum luas untuk saluran cerna dan bakteri anaerob, lalu dexamethasone 0,5mg dan paracetamol 500mg. Saya melihat pertumbuhan jamur di daerah kerongkongan May, itu sebabnya saya memutuskan untuk memberikan antibiotik tersebut.

Hari kedua penelusuran gua, tim sudah dibekali dengan obat-obatan yang kira-kira dibutuhkan oleh anggota. Saya pun tetap menempati base camp saya di asrama guru sekolah dasar Ban Non Phing. Sambil mengisi waktu saya pun sempat mendatangi pusat kesehatan yang didirikan di desa tersebut. Saya sempat berkenalan dengan dokter dan perawat yang bekerja disana. Tetapi saya tidak berkesempatan untuk melihat bagaimana perbekalan farmasi di instalasi tersebut dikelola. Pada saat saya datang ke pusat kesehatan tersebut ternyata ada seorang anak yang sedang dirawat karena panas di tubuhnya sudah tiga hari tidak turun. Belakangan saya ketahui anak tersebut juga mengidap penyakit malaria.

Dalam perjalanan mengitari desa saya bersama Retno Gita Erliana, Kang Godi Utama dan Kang Ronald sampai di sebuah rumah di ujung desa. Rumah tersebut dihuni oleh sepasang suami istri yang sudah tua. Som Phon, tur gaid kami yang ikut bersama kami dalam perjalanan itu kemudian berbisik kepada saya bahwa bapak tua yang kami temui itu mengeluh sudah seminggu sakit gigi. Pernah diobati tapi tidak sembuh juga. Saya secara sekilas melihat bagaimana kondisi gigi bapak tersebut yang belakangan diketahui bernama Hung Mo. Giginya kotor dipenuhi karang gigi. Itu merupakan jaminan akan adanya gigi yang bolong yang sampai bertemu urat gigi, dan itu pasti sakitnya luar biasa. Saya pun bersegera memberikan dua obat penahan rasa sakit. Satunya adalah ibuprofen dan lainnya adalah analsik.

Saya memberi petunjuk bahwa analsik yang merupakan obat pereda rasa sakit golongan psikotropik dipergunakan jika ibuprofen tidak bekerja. Maka Som Phon pun membantu saya untuk menerangkan bagaimana kerja obat tersebut. Dari pengalaman saya, esok harinya Som Phon memberikan informasi bahwa May sudah sembuh dan begitu juga bapak tua yang bernama Hung Mo. Kemudian Som Phon memberi permintaan kepada saya bahwa ada warga desa di rumah lainnya yang sakit dan membutuhkan pengobatan, namun mereka tidak punya uang untuk datang ke pusat kesehatan. Selain itu ternyata, pusat kesehatan itu juga tutup setelah pasien terakhir sembuh. Dokter dan perawat yang jaga di pusat kesehatan itu ternyata bukan orang asli desa Non Phing dan mengambil liburan selama satu minggu.

Mengenai masalah kesehatan di Lao PDR, khususnya di desa Non Phing, pemerintah sepertinya memberikan bantuan dalam pembangunan instalasi kesehatan, namun pada dasarnya orang yang hendak berobat harus membayar lumayan mahal untuk pengobatan.