Perjalanan Panjang

Stone garden, gua Pawon

by : Bayu Ismayudi (Baiz)

 

“Anakku, jika kau bukan seorang pengembara di dunia ruhani, setidaknya berupayalah untuk tak menyangkal maqam-maqam keruhanian dan ‘irfani, karena salah satu dari tipuan terbesar setan dan diri-badani, yang menghalangi manusia dari meraih berbagai maqam kemanusiaan dan keruhanian, adalah mendorong-dorong manusia untuk menyangkal atau bahkan melecehkan perjalanan ruhaniah menuju Allah.”
(Wasiat Ayatullah Khomeini kepada Putranya)

Ketika saya menuntaskan laporan akhir program Diploma III, saya ingin menuliskan sesuatu pada lembar pertama laporan tersebut sebagai kata-kata mutiara. Namun saya bingung, apa yang harus saya tulis? Saya melihat teman-teman saya menuliskan ayat-ayat Quran pada lembar pertama laporan akhirnya, saya ingin meniru mereka, tapi saya menganggap ayat-ayat Quran terlalu sakral untuk sekadar ditorehkan di lembaran seperti itu.

Akhirnya saya teringat kata-kata saudara saya, Bayu Bharuna. “Sebuah Keberhasilan Adalah Penting… Tapi Proses Menuju Keberhasilan Adalah Jauh Lebih Penting.” Dan kalimat-kalimat itulah yang akhirnya menghiasi lembar awal laporan akhir saya.

Sebuah kalimat yang menurut saya sarat makna. Tentang sebuah proses yang mungkin bisa diartikan ‘perjalanan.’ Ketika seorang pengembara akan melakukan perjalanan, mungkin yang akan terlintas di benaknya adalah ke mana tujuannya? Bekal apa yang akan dibawanya? Manfaat apa yang bisa diperolehnya saat di perjalanan maupun ketika sampai di ujung perjalananannya?

Ketika kita dilahirkan di dunia ini, kita sudah dipilih oleh ‘Sang Pencipta’ untuk melakukan perjalanan. Betapa tidak, dari jutaan sperma yang membuahi indung telur, hanya satu yang lolos seleksi untuk dapat mengemban tugas ‘perjalanan’ ini, yaitu kita.

Seperti halnya ketika kita mendaftarkan diri menjadi anggota Palawa Unpad, dari puluhan atau bahkan ratusan pendaftar, hanya kita yang lolos dan lulus sebagai anggota Palawa setelah melalui proses Diklatdas.

Sehingga setelah itu terbentanglah jalan panjang yang penuh liku di hadapan kita. Semuanya diserahkan kepada kita bagaimana menyikapinya. Ada yang menyikapinya dengan ‘bagaimana nanti’ (pre science), ada yang menyikapi dengan ‘untung rugi’ secara materi (matematis), ada yang menyikapi sebagai ‘pembelajaran’ (filosofis), dan ada yang menyikapinya dengan ikhlas tanpa imbalan tujuannya hanya untuk menemukan ‘kehakikian’ (religius). Suka atau tidak suka semua proses itu harus dilalui.

Saat Diklat dulu pada saat pramedan operasi, kita dibekali materi persiapan perjalanan. Dengan itu minimal kita sudah diajak bertidak secara matematis dan ini sebuah modal awal untuk dapat kita kembangkan di kemudian hari. Sehingga kita dapat mengambil hikmah dari setiap perjalanan yang kita lakukan. Apakah untuk selanjutnya kita akan berhenti pada tahapan filosofis? Itu pilihan! Karena hakikat perjalanan atau proses adalah menemukan kehakikian dan menurut saya itu adalah keharusan. Karena ketika seseorang yang sudah tidak sanggup secara fisik untuk melalukan perjalanan, dia secara ruhaniah harus terus berproses. Sehingga bagi mereka perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan spriritual, pendakian bagi mereka adalah pendakian spiritual dan inilah inti dari sebuah proses atau perjalanan, karena proses atau perjalanan ini tidak akan dihentikan oleh maut sekalipun malah akan berkesinambungan menyeberangi kematian.

“Saya berharap kita bangkit dari tidur kita yang amat nyenyak dan bergerak menuju maqam pertama yang memang adalah maqam berjaga, tahap pertama dalam perjalanan spiritual.”
(Ayatullah Khomeini)

Perjalanan inilah yang sebenarnya harus kita perjuangkan, karena dari sinilah kita dapat menentukan hasil yang ingin kita raih dari sebuah pengembaraan panjang.

“Wahai Anakku, berusaha keraslah untuk berjalan sepanjang ‘Jalan Allah’ bahkan dengan kaki yang pincang.”
(Wasiat Ayatullah Khomeini kepada Putranya)