by Rina Agustin
Akhirnya aku memilih arung jeram sebagai kegiatan spesialisasi pada awal masa keanggotaan baru di perhimpunanku dulu. Aku tidak menemui alasan untuk “tidak memilih” kegiatan ini, dibanding pilihan lainnya seperti rock climbing, caving maupun mountaineering.
Tentang rock climbing yang terbayang adalah aku harus mencengkeram dan merayap bagai cicak di tebing bebatuan sendirian, didepan mata tepatnya didepan hidung hanya permukaan kasar yang harus kupilih celahnya untuk sekedar menyelipkan ujung jari tangan maupun kaki. Selama pemanjatan hanya suara nafas yang tersengal dan deru angin serta sengat matahari yang terik. Paling-paling hanya bisa menyaksikan pemandangan setelah sampai di tujuan, atau sekedar mengintip saat bergelantungan, itu juga kalau beruntung tidak terhempas jatuh duluan. “Ah, sepertinya ini bukan pilihanku!”
Disisi lain aku juga tidak mau harus mengendap-endap dalam kegelapan yang lembab, mungkin kepalaku akan sering terbentur karena postur tubuhku yang lumayan tinggi, sehingga jeritanku akan sering mengagetkan kelelawar dan binatang gua lainnya. Meskipun aku bisa bermain air, berenang maupun berperahu, tapi paling-paling aku hanya bisa menikmati indahnya stalagmit atau stalagtit hanya setelah foto perjalanan kucetak, itu juga jika pencahayaannya tepat, karena menurutku dinding gua akan lebih indah karena efek pendar cahaya, kalau gelap mana bisa aku menikmati. “Ini juga bukan pilihanku!” tegasku sekali lagi.
Sebenarnya mountaineering atau naik gunung, kelemahanku hanyalah masalah fisik yang masih bisa ditanggulangi dengan olah raga rutin, sehingga nafasku bisa panjang untuk bekal di tiap tanjakan. Aku sangat suka menyaksikan semburat jingga matahari terbit di atas puncak, menerobos harum hutan, menatap langit biru cerah atau awan putih belang-belang. Juga aneka warna rupawan saat matahari ke peraduan atau mengantar bulan yang pulang senja. Sungguh aku bisa menikmati semua itu, tapi aku bukan penjelajah sejati yang berani kesana kemari di hutan sendirian, berbeda dengan teman-temanku yang lebih mandiri. ”Aku masih setengah hati untuk memilih kegiatan ini”.
Aku melihat yang berbeda di arung jeram, terutama kedinamisannya. Bukan tebing yang kokoh penuh keangkuhan atau gua yang diam penuh misteri, ataupun gunung yang megah penuh dendam, tapi sungai yang riang penuh semangat, meski hanya gemericik airnya. Setenang apapun sungai dia terus bergerak, mengalir mencari muaranya. ”Aku suka ini!” akhirnya kupilih sebagai sesuatu yang harus kudalami dan kukuasai.
Awalnya aku merasa sedikit kewalahan dengan kedinamisannya itu, aku selalu berpikir dan berusaha bahwa gerakannya harus sesuai dengan gerakanku. Sehingga kadang perahu berputar-putar atau berbelak-belok tidak menentu. Alih-alih tenagaku terbuang habis tapi laju perahu tak karuan.
Aku memang sebaiknya mengikuti arus utama diantara arus-arus yang bertebaran di penampang sungai, karena arus ini akan memudahkan pengarunganku tapi bukan berarti harus diikuti terus menerus. Aku masih bisa memilih arus lainnya jika itu lebih baik dan tidak membahayakan.
Lama kelamaan aku menyadari bahwa merekalah yang mempunyai gerakan dan akulah yang harus bergerak seirama dengan gerakannya, atau memilih gerak arus yang mana dan kemudian menyesuaikannya. Kesadaran inilah yang akhirnya membawaku pada kenikmatan di setiap pengarungan.
Aku sangat menikmati liak-liuk di puncak lidah gelombang, bagaikan berayun dihamparan air. Atau sensasi-sensasi oleh arus kuat yang berebut menghempaskan perahu saat menuruni sebuah jeram.
Dan yang terpenting dari semua itu bahwa aku disana tidak sendirian, aku melewati dan menikmatinya bersama mereka yang satu tekad, satu semangat dan satu tujuan. Sehingga teriakanpun menjadi riuh seriuh irama gelombang, heningpun menjadi sumber strategi saat mencermati arus lintasan, euforiapun lengkap sesaat melewati jeram.
Akupun belajar berbagi peran, sebagai juru mudi atau sebagai juru dayung, berusaha memahami dan dipahami, berusaha mengayuh sekuat tenaga atau hanya pelan mengimbangi.
Memang olah raga ini bukan cuma mengandalkan otot lengan, tapi kepekaan membaca arus, kecerdasan dalam menentukan keputusan dan kesigapan mengambil tindakan, mutlak diperlukan. Bayangkan jika sedetik saja kita tidak langsung tanggap terhadap keadaan, mungkin arus sudah menggulung kita entah kemana.
Maka sejak pertama kali menentukan pilihan, aku tak pernah menemukan kata tidak untuk berbagai alasan dari kegiatan arung jeram ini. Bukan hanya raga yang kubawa pada setiap pengarungan, tapi ternyata hatiku juga ada disana, sehingga setelahnya aku tetap bisa menikmati dan memaknai sebagai bekal mengarungi kehidupan sebenarnya.