Photo ini berumur 23 tahun, itu saya dan rekan Palawa Unpad Angkatan KP saat perintisan dan mendaki Gunung Tambora, di Sumbawa, Gunung yang sekarang begitu legendarisnya karena dahsyatnya letusan dua abad silam (1815). 23 tahun yang lalu pun amat melegenda buat kami, pendakian itu juga diiringi letusan dan rintihan kesakitan porter kami. Porter kami justru menghambat pergerakan saat turun, kakinya bisul, jalannya tertatih, jadi bikin lama hari-hari di gunung, bikin bengkak biaya sewa porter yang bisul tersebut.
“Kumaha? Modus jigana meh nambah poe” kata kami menyimpulkan kondisi bisul sang porter. Itu kami suudzon padanya karena semakin lama hari di gunung, maka semakin besar biaya yang harus kami bayar kepada si porter tsb.
Sepakatlah kami untuk bertindak taktis, cepat, dan tak berprikemanusiaan : bedah bisul dengan paksa, dan wawan barang lah yang kami tunjuk sebagai dokter dadakan. “Bitukeun weh wan, tong asa-asa, tuman ngahambat pisan” kata Triyanto dengan bernada bengis. “Pak kesini Pak, ikut saya!” Perintah Wawan Barang ke si porter yang tertatih, Wawan mengajaknya ke semak-semak menjauh dari setapak rintisan. Kami menunggu apa yang akan terjadi dibalik rimbunnya semak belukar itu.
“Aooowwwww, aowwwwww, sakit wan” Teriak sang porter. Kami tertegun dan menjadi lega, Wawan Barang berhasil melakukannya, bisul si porter pecah, darah bercucuran dimana-mana. Dan air mata sisa tangis di pelupuk mata sang porter, “tak apa-apa pak, nanti biasa kok” Kata kupil sambil mengelus rambut sang porter dengan kasih. Dan kami pun turun dengan kecepatan seperti yang kami inginkan. Letusan bisul 23 tahun lalu itu, mungkin tak sebanding dengan letusan Gunung ini dua abad silam, namun sakitnya mungkin masih tersimpan di hati sang porter. Demikianlah.