Saat Tirai Sekretariat Ditutup

romanBagaimanakah situasi yang paling menegangkan di sekretariat DU era 90-an? Ah ternyata bukan kala rapat, Muper, debat atau kala ditagih utang oleh tukang kueh si Abul. Setiap orang bahkan yang sekedar lewat sekret akan merasakan aura mencekam itu adalah kala tirai sekretariat ditutup, walau para penghuninya sedang aktif di kampus. Entah siang, sore atau malam.

Saat tirai sekret ditutup, ada denyut adrenalin berlebih disana. Suasana tegang yang terbawa ke luar, aroma yang tak biasa bisa dirasakan oleh mahasiswa lain. Tak urung banyak yang penasaran, namun enggan ikut campur. Atau takut untuk bertanya. Sebuah ruangan yang biasanya diisi oleh gelak tawa, siulan menggoda mahasiswi yang lewat atau suasana hangat ngobrol berubah menjadi aroma goa Kiskenda yang mencekam. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam, harap-harap cemas apa yang terjadi sesudahnya.

Beberapa bulan setelah lulus diklat, suasana tirai tertutup dirasakan angkatan terbaru tepatnya Agustus 1992. Sebuah friksi dengan Menwa membawa negosiasi yang alot didalam sekret, itulah pembelajaran pertama angkatan terbaru. Ooh, begini caranya menyelesaikan masalah. Tak sampai setahun kemudian, kala terjadi friksi dengan UMU -unit mabok- mereka membawa penyelesaian itu ke level berikutnya.

“Tiasa pendak sareng si X? ” Adjat dan Boerahaj seperti koboi yang menghampiri geng lain di cafetaria.
“Muhun abdi, aya naon?” kawan2nya mendelik bersiaga. Adjat dan Boerahaj sudah kepalang basah.
“Tiasa ngiring sakedap ka PLW?” Keduanya menggiring si X ke sekret.

Disana sudah berkumpul para interogator seperti Terra, Wawan, Dodi dsb. Sebagai ketua DP Luthfi juga hadir Jrit aing mah… kapaksa jadi penengah…pasti urusan gelut ieu mah, keluh Luthfi dalam hati.
Interogasi langsung dijalankan tanpa basa-basi, namun jawabannya sering melantur. Membuat semua hilang kesabaran. Terra pun naik pitam.

“Anjir maneh mah loba ngabulatuk sateh…!” bentaknya sambil menendang kursi. BRAAAK..!
“Ampun aa..ampun..”

Dodi juga tak tahan..buk..bek.. beberapa pukulan telak mendarat. Wawan sudah mengambil ancang-ancang..
“Tahan..tahan..” lerai Luthfi “kalem..kalem heula.” Ia susah payah menahan rekan-rekannya yang sudah gatal ingin mengeksekusi. Interogasi dilanjutkan, namun disebutkan bahwa mereka tak akan menahan diri lagi bila jawabannya ngelantur.

“Parunten ka sadayana..punten tos ngarepotkeun sadayana..” akhirnya si pesakitan tersedu minta maaf setelah mengakui perbuatannya. Setelah begitu, dengan muka babak belur, si pesakitan dihantar keluar.
“Mun barudak maneh rek balas dendam ditungguan ayeuna,” undang Bar.
“Urang perang sakalian..” gerentes Wawan juga gatal tak kebagian tadi di dalam krek..krek.. ia melemaskan lehernya ke kanan dan ke kiri.

Formasi kumite bersiaga di koridor, menunggu tanggapan dari UMU. Tak berapa lama dua orang geng UMU tergopoh-gopoh menghampiri. Har.. naha ngan duaan, pikir Wawan yang on fire, ku aing we ngan dua an mah.

“Punten..punten..aya salah paham,” ujar mereka.
“Hatur nuhun rerencangan abdi tos diperhatoskeun…” timpal temannya lalu blablabla.. berusaha mencairkan suasana siaga tempur di PLW. Persoalan pun tak berlanjut, walau masih banyak yang penasaran dari kedua belah pihak. Itulah friksi pertama dengan UMU.