Setiap kapal Amerika lewat di perairan Guadalcanal, maka kaptennya akan memberi perintah berlayar berkelok seperti huruf S dari kata Salute, karena pada tahun 1942 disini puluhan kapal perang dan ribuan tentara terkubur di dasar laut dalam pertempuran laut terhebat.
Jip Ford keluaran tahun 1942 melaju tanpa tergesa-gesa di jalanan koral yang meliuk sepanjang perbukitan kina afdeling Bukittunggul. Jip bergerak perlahan menyusuri punggungan bukit dengan pemandangan gunung Palasari di samping kanan. Gunung Bukittunggul perlahan hilang dibelakang dan gunung Pangparang sebelah kiri akan segera terlewati. Sebetulnya telah ada jalur jalan lain yang sudah diaspal namun rasanya menunggang kendaraan tempur melalui jalan yang mulus kurang afdol sehingga Opik mengarahkan jip yang dikemudikannya melewati jalan koral dan tanah becek kesukaannya. Terasa lebih alami, katanya mantap.
Roadless travelled
Dulu jalur Cibodas hingga Palintang yang mewati perkebunan kina ini hanya berupa koral dan tanah merah sehingga amat jarang dilewati kendaraan. Namun kini perbaikan jalan telah membuat jalur itu sepenuhnya beraspal sehingga motor dan mobil sering berseliweran. Sesuatu yang tak dijumpai beberapa tahun silam. Keramaian ini terasa asing bagi kami yang sejak duapuluh tahun lalu rajin menyusuri jalur ini, dari mulai berjalan kaki hingga mengendarai kendaraan off road. Terasa ada nuansa yang hilang di jalur klasik ini kala sekarang sudah berseliweran mobil citycar dan bisingnya motor. Sudah tak sakral lagi.
Namun di jalur yang masih koral, setidaknya suasana masih belum berubah dari belasan tahun lalu saat kami mulai berjalan kaki menjelajahi alam. Selalu menuntaskan perjalanan di belakang kampus Jatinangor, tak pelak jalur roadless travelled ini mengiringi pendewasaan kami sebagai mahasiswa. Aroma tanah basah, jalanan koral berlumpur dan kadang bau pupuk yang menyengat. Sesekali menerobos semak-semak yang menjulur hingga ke tepi jalan.
Serasa jaman perang
Berkostum militer sembari menunggangi jip keluaran perang dunia, pikiran saya terbang ke suasana Perang Pasifik saat membayangkan bahwa jalanan koral ini telah ada sejak jaman Belanda dan mungkin kondisinya belum berubah hingga kini. Apalagi dalam daypack yang dibawa selain logistik saya juga membawa juga buku Perang Pasifik karya P.K. Ojong untuk bahan bacaan.
Setelah melewati desa Palintang, jip belok kanan melalui jalur Sindanglaya yang jalannya masih rusak. Tak berapa lama kami sengaja menepi di pinggir hutan. Jip dimasukkan lebih jauh kedalam rimbun pepohonan pinus dan semak-semak, agar mendapat suasana yang lebih sunyi. Bagai pasukan pengintai. Tak lama kemudian box-box perlengkapan perang berwarna hijau yang bertuliskan U.S.M.C diturunkan karena didalamnya berisi logistik makan siang untuk dibuka. Veldbed militer dipasang ditengah hutan pinus lalu mulailah acara memasak dengan menggunakan veldples. Sambil tidur-tiduran di atas veldbed, saya kembali membaca buku yang mengisahkan berkecamuknya Perang Pasifik. Sejenak saya merasa berada di tengah-tengah suasana perang. Merasa sedang mengawasi musuh di dalam hutan.
Saat sampai pada bab pertempuran di Philipina dalam buku Perang Pasifik, alam pikiran sayapun melayang menuju medan perang Philipina bulan Mei tahun 1942 ketika tentara Jepang meremukkan pertahanan Amerika yang kuat di Corregedor. Disinilah Jendral Mc Arthur mengucapkan kalimatnya yang terkenal itu, “I shall return”. Dua tahun kemudian dengan strategi leap froging –nya Amerika balas memusnahkan sisa-sisa armada laut Jepang di Teluk Leyte dan Mac Arthur memenuhi janjinya untuk kembali ke Philipina.
Setelah lebih dari satu jam “mengawasi musuh” matahari semakin bergeser ke arah Barat, waktunya melanjutkan perjalanan bila tak ingin kesorean turun ke arah Arcamanik. Opik sang driver kembali mengarahkan jip Ford turun menyusuri tepi hutan di punggungan bukit. Tak lama kemudian jalan koral pun habis berganti aspal dan hutan mulai terbuka. Sensasi Perang Pasifik pun sirna dari benak saya. Kembali ke alam nyata.