Melipir Menghemat Devisa

IMG-20141130-00342Setelah brunch (makan antara breakfast dan lunch) dengan padthai seharga 30 baht (THB) di kawasan backpacker Khaosan, Bar dan Dudung bergerak window shopping ke deretan mall-mall terbesar di pusat kota Bangkok. Bahkan di sudut-sudut mall papan atas itu, Dudung masih bisa menemukan makan siang seharga 25 baht. Itu adalah sebungkus sticky rice (beras ketan, khas Thailand) dan ayam goreng.

 

“Teu wareg hiji mah,” bisik Bar,” meuli dua sakalian ngabungkus jang peuting .” Tentu saja bila mereka makan ala restoran di kawasan backpacker sekalipun, setidaknya akan keluar uang 200 baht.

Tak sah sepertinya jika tak menikmati kopi dalam perjalanan. Namun secangkir kopi di café berwifi setidaknya 60 baht, melipirlah mereka ke trotoar dimana kopi tradisional dijajakan. Berapa? 15 baht untuk kopi hitam, 25 baht dengan susu. Siap, ujar Dudung tak segan membayari.

Di Saigon, Bais dan Bobby menikmati sarapan favorit mereka; kopi hitam, roti perancis dan telur dadar setengah matang. Harga menu sarapan itu 40 ribu dong (VND). Letak warung makan itu di seberang room for rent tempat mereka menginap seharga 12 dollar (USD)per malam.

“Ke beurang dahar dimana nya?” tanya Bais. “Di dieu deui we lah murah,” jawab Bobby.

Menginap di bandara tentu tak asing lagi bagi mereka untuk menghemat akomodasi. Teknik lain yang bisa dipakai untuk menghemat akomodasi ini adalah perjalanan darat di malam hari , dengan demikian uang akomodasi terselamatkan karena semalaman tidur di bis. Ketika bangun tidur, mereka sudah sampai tujuan dan tinggal melanjutkan pengembaraannya.

“Mun make sleeper bus ti Luang Prabang ka Vientiane, aya sesa lumayan yeuh. Pake jang eksplore di kota Luang Prabang we yu,” ajak Bar. Bais sepakat, sisa uang akomodasi itu mereka gunakan untuk berpesiar ke pinggiran kota Luang Prabang, mengeksplorasi obyek wisata disana. Namun teknik kutu loncat dari kota ke kota seperti itu membutuhkan fisik yang bugar, karena tak ada waktu untuk pemulihan di kamar yang nyaman.

Di sebuah apartemen kota Guangzhou yang dibuat jadi dormitory, menginaplah akhirnya Dudung dan Bar setelah sebelumnya sempat berputar-putar mencari akomodasi murah. Sayang biaya hotel di kota terbesar ketiga di China ini kurang bersahabat dengan kantong pejalan hemat. Namun bila siap berbagi ruangan di dormitory, uang yang dikeluarkan tak lebih dari 50 ribu rupiah semalam. Seperti biasa, makan mencari di trotoar supaya hemat. Harganya sama dengan nasi goreng yang dijajakan disini. Di Hongkong, teknik survive favorit mereka adalah makan di 7 eleven, dimana makanan siap saji dan kopi murah selalu tersedia.

Pada akhirnya, di kota-kota manapun yang dikunjungi akan ada selalu celah untuk menghemat sebagian ongkos perjalanan. Terlatih untuk berhemat sejak masa kuliah, kelompok backpacker marhaenis ini sudah terlalu menguasai teknik survival dinamis ini.. Prinsipnya, destinasi tak kan pernah dikompromikan namun dengan budget yang mepet, kenyamanan bisa dinegosiasikan. Berbekal itu, tak ada kekhawatiran untuk menuju tempat-tempat petualangan yang jauh dan semakin jauh.