by Boedi Rahajoe
Pagi ini, Kang Edjie selaku Komandan Kesiswaan, memberi aku mandat sebagai Ketua Kelas. Jabatan yang membuat aku merasa memiliki kekuatan kewenangan lebih untuk memaksa Sukrisno melapor pada pelatih atas kondisi kesehatannya.
Belakangan hari, ada “wangi khas” yang membututi kegiatan kami. Memberi nuansa khusus di indera penciuman yang biasanya sudah tidak sensitif. Sanggup mengundang jemari merapatkan lubang hidung, membatasi kebebasan udara memasuki rongga dada.
Tera kembali menjadi pahlawan saat menemukan sumber wangi-wangian.
Pada akhirnya tak bisa mengelak, Sukrisno mengamini bahwa diare menyerang keperkasaan tubuhnya beberapa hari ini.
Pengakuan itu menjelaskan fenomena yang kerap terjadi.
Sukrisno seringkali terlihat berkelebat menghillang ke arah semak-semak dengan golok di tangan.
Pertanyaan semacam “Kunaon Kris…??” Selalu dijawab dengan wajah tirus datar, tulang pipi yg menonjol, intonasi dalam nan menyeramkan “Teu nanaon”.
Kali ini aku sudah tak tahan.
Siang itu aku hendak menggiring Sukrisno untuk mengaku pada Pelatih. Namun pendiriannya lebih kokoh dari tembok Cina meski kami bisa lihat kondisi kesehatannya serapuh kisah cinta antara Pepen dan Lucy (entah siapa mereka….).
Aku dan Sukrisno beradu argumentasi.
Beberapa yg lain mendukung argumenku ketika beberapa sisanya hanya menjadi penonton terkapar.
Masih dengan golok di tangan, sisa-sisa kesibukan di semak, ia menunjukkan jarinya ke hidungku. “Sok adukeun !!! Papaeh-paeh heula jeung aing !!!”
Dan Boerahaj bukannya tak bernyali…. aku sambar golokku dan kami nyaris berhadap-hadapan ketika Bonk, Tera dan Djeni memisahkan kami…
“Can beres urusan !!! Balikna tuluykeun !!!” Demikian janji kami berdua dicatat dewa angkara murka.
Tidak semua janji memang harus ditepati. Khususnya janji berkonteks buruk dan diucapkan kala emosi mengurung kewarasan.
Selepas upacara pelantikan, yang terjadi hanyalah kami berpelukan…