Tujuhbelas Hari Mendewasakan Diri

sepatu ceko

by  Boerahaj

Pada masa itu, di mata saya, menjadi anggota kelompok pecinta alam adalah “keren”.

Karenanya, saya menyempatkan diri di awal status saya sebagai mahasiswa baru, mendaftar ke Wanadri.

Namun takdir memutuskan saya untuk terlambat. Karena kedatangan saya ke sekretariatnya di jalan Wastukencana bertepatan dengan kegiatan pendidikan yang telah berjalan di medan operasi.

Dengan separuh hati yang patah, saya mencoba melihat peluang lain….

Di Fakultas ternyata tidak ada unit kegiatan yang bisa menampung hasrat yang menggebu ini….. Namun jalan belumlah buntu. Saya mendengar ada informasi bahwa Palawa Unpad sedang mendekati masa penerimaan anggota baru.

 

Singkat cerita,

Di dalam masa pra MO, fisik kami digenjot habis. Lari keliling Gasibu yang tak pernah diimpikan pun, saya sikat habis hingga 5 putaran. Meskipun push up dengan tangan terkepal hingga 25kali disaat aktif latihan karate dahulu sudah biasa, …. Saat ini, push up satu seri dengan jumlah yang sama dan dengan bertumpu pada jari jemari merupakan siksaan yang menantang.

Kurang lebih dua minggu kami menjalani pra MO, tibalah waktunya untuk menghadirkan diri ke medan operasi sesungguhnya. Saya masih beranggapan kegiatannya akan menyenangkan, selayaknya hiking atau kemping yang biasa saya lakukan bersama teman-teman SMA.

Asumsi tersebut berubah secepat copet memindahkan dompet.

 

Hari pertama MO,

Saya lupa persis, apa kesalahan yang kami buat. Yang saya ingat, kami 8 putra dan 4 putri disuruh berhadapan dengan sesama siswa dan disuruh saling tampar.

“Palawa!!!!” tamparan pertama…..

“Palaawaaa..!!!” tamparan berikutnya….

“nu tarik we, Bud..” bisik Bonk…. Bonny alias Bonk adalah pasangan tampar saya.

Tidak biasa menampar, saya tampar lagi pipi kasarnya Bonk….

“Palawaaa…!!!” teriaknya….

Kini gilirannya menampar saya.

Plakkkk!!!!! “Palawaaaa…..!!!” “Anjir, Bonk….nyeri euy” keluh saya dalam hati….

Giliran saya… Plookk!!!! “Palaawaaaa!!!”

“Yang keras, Tuan!!!!!” terdengar hardikan pelatih…..

Saya tersadar dari degupan jantung yang keras….. saya mulai membaca situasi bahwasanya hardikan itu pertanda celaka.

Benar saja, Kang Acil memberi contoh cara menampar yang baik dan benar dengan pipi saya sebagai alat demonya.

“Palaawaaaa…!!!!!!” teriak saya.

“ajighhhh……!!! ajighhhh….!!!!” teriak hati saya

Hari pertama MO, saya belajar menebalkan mental dan pipi…..

 

Hari kesekian di MO,

Sore hari usai materi, kami berbagi kelompok mendirikan bivak. Saya satu kelompok dengan Tera, Bonny dan Sadikin. Berbagi tugas, saya dan Sadikin mencari batang kayu yang dapat digunakan sebagai tiang bivak. Tugas saya terasa makin berat ketika di saat yang bersamaan harus merasakan badan yang letih, perut yang menjerit lapar, tubuh kuyup nan menggigil, cuaca hujan yang sangat tidak bersahabat, kegalauan hati akibat terjebak di situasi ini, ditambah dengan mendengar curahan hati Sadikin yang ingin mengundurkan diri…… Sungguh saya tersentak. Berusaha bijak, saya coba bangun kembali semangatnya….

“Lebar Kin…. Geus sabaraha poe ieu? Paling moal lila deui oge anggeus. Kuat lah maneh… Pan urang sanghareupan babarengan” Demikian, kurang lebih kata-kata yang saya harap dapat membakar lagi ketangguhannya…..

“Ah, moal Bud….. Teu kuat urang mah kikieuan wae….. Isuk urang rek menta balik we…”

Langkah yang sempoyong karena beban kayu dan hati yang pilu karena seorang teman yang merasa sudah tidak mampu, membawa saya ke lokasi pembangunan bivak.

“Kamana euy? Lila-lila teuing…. Tiris yeuh” Tera menegur sembari tubuhnya ngagibrig.

“Ieu euy…. Si Sadikin dek menta balik…..” suara saya agak parau berlomba dengan derasnya hujan.

“Wah? Maenyak? Bener Kin? Kunaon?” Tera menampakkan kepeduliannya…

“Maenyak sih….?” Bonk menimpali

“Henteu ah…!!! Ceuk saha???” Sadikin tertawa-tawa

“Ari tadi, maneh ngomong kitu….??!!” Dengan intonasi tinggi saya merasa tertipu

“Nyaaakkk… eta mah ngacapruk we… daripada katirisan…” Sadikin melenggang enteng

 

Hari itu merupakan salahsatu hari terberat. Lelah luar biasa yang mendera, cuaca yang sangat amat tidak romantis, memperburuk stamina kami…..

Saya, Sadikin dan Bonk bekerja sama mendirikan bivak. Saya pegang batang disini, Sadikin pegang batang disana, Bonk mengikat batang yang ini….. sementara Tera menerangi dengan senternya.

Saat Bonk sudah berpindah posisi dan sibuk mengikat batang yang lain, Tera tampak masih fokus menerangi sudut yang tadi. Kami cek….. dia memegang senter sambil tertidur

Hari kesekian di MO, saya belajar untuk “mengenali” teman

 

Hari yang indah di MO,

Kami belajar tentang orienteering…. Azimuth dan back azimuth…

Praktek lapangan di Ranca Upas yang kondisinya rawa dan gerimis….. saya dikelompokkan dengan Akuy, Djeni dan Atu.

Atu bertugas sebagai check point….. ia berdiri beberapa puluh meter jauhnya.

“Kiri, Tu…!!!” “Kirian lagiii….” Teriak Akuy yang membidiknya dengan kompas.

“Apaa aann??!!!” terdengar teriakan khas logat Betawi Atu yang kental dari kejauhan

“Kiiriiiiii……!!!!!!” Djeni dan Akuy satu suara

“Bukan kesituuuu…… Siniiiii…!!!” teriak saya sambil memberi tanda dengan tangan karena Atu bergeser ke arah kebalikan dari yang kami harapkan..

“Geser lagiiiiii……. Kanaaaannn !!!!! Lagiiii….!!!” Membahana suara Djeni berusaha mengalahkan suara hujan yang makin menderas.

“Salaaaahhhh…… Kiriiii…. Agak kiriiiii…….!!!!” Saya dan Akuy bersahut-sahutan…..

Untuk beberapa lama kami saling teriak bersahutan hingga Atu tampak kesal dan jalan mendekat…..

“Nyang bener doooong!!! Katenye kiri!!! Gue ke kiri, suruh ke kanan!!!! Gue ke kanan, suruh kiri lagi!!!! Cape taoooo……!!!!!”

Saya lupa akhir dari fragmen itu. Yang saya ingat, hari itu diakhiri dengan Akuy diperintahkan tambling oleh pelatih……

Hari yang indah di MO, saya belajar untuk selalu “sedia payung sebelum hujan”

 

Materi survival di MO,

Pada suatu hari, materi harian berakhir lebih cepat dari biasanya dan kami diperintahkan untuk membangun bivak alam yang nyaman.

Di dalam bivak yang dilapisi dedaunan empuk, hangat serta kelelahan, kami sepertinya cepat tertidur lelap….. hingga dikejutkan lengkingan peluit pelatih, teriakan serta hardikan. Bivak kami berantakan….

Kami disuruh berbaris dan meninggalkan semua barang kecuali webbing. Lalu digiring pelatih ke suatu area yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi.

Inilah materi yang disebut tidur kalong.

Didalam kegulitaan hutan dan dibawah tekanan mental, saya berusaha memanjat sebuah pohon yang ternyata sudah ada Tera dan Boni di antara dahannya.

Sepertinya semua sudah berada di atas pohon, ketika salah seorang pelatih berteriak…..

“Sedang apa kamu, Tuan???!!!!”

“Siap Kang !!! Mau tidur kalong, Kang !!!!!” yang ditanya, menjawab tegas

“Lihat!!!! Apa itu, Tuan!!!!????” Tanya pelatih kembali dengan keras

“Siap Kang !!!…..mmmhhh…….” yang ditanya sepertinya kebingungan sambil meraba-raba obyek yang akan dipanjatnya.

Tampak pelatih menyorot pohon yang dimaksud, dengan senter….

“Apa itu, Tuan ???!!!” Pelatih bertanya lagi

“Siap Kang !!!! Pohon pisang, Kang !!!!!” Wilman menjawab dengan tegas

Materi survival di MO, saya belajar untuk “stay focus”

 

 

-boerahaj  PLW 24382058 CP-

 

*catatan : Tulisan ini merupakan sebagian penggalan ingatan pengalaman DIKLATDAS VIII berdasarkan sudut pandang dan sudut rasa penulis. Tidak diperkenankan untuk diperdebatkan.