Bagi sebagian mahasiswa era Dipati Ukur, terutama fakultas Sastra, mengenal area Lapang Parkir Tengah sebagai Pantai Sastra. Mungkin karena banyak pohon palem seperti pantai dan tempat kuliah fakultas Sastra. Sementara fakultas Hukum dan Ekonomi di dekat LPU dan LPS. Namun diarea ini jugalah tempat unit-unit kegiatan berada, dari unit-unit yang hiperaktif hingga yang hidup enggan mati tak mau.
Bulan Agustus 1992, kala Pengenalan Unit mahasiswa baru sebuah keributan membuat gaduh pantai sastra hingga cukup mencekam. Menwa Yon II dan Palawa baku hantam di dekat pos Menwa. Ini karena insiden kecil lempar alat dan kurangnya komunikasi saat pengenalan unit. Juga karena sudah ada sentimen anti Menwa yang berkembang, terutama di fakultas Sastra yang sebelumnya juga bukbek dengan Yon II. Tak ayal suasana sempat riuh dan chaos. Satpampun tak dianggap bila kedua unit ini sudah bertumbuk.
“Serbuuu…!” seru Budi Gambrut memberi komando. PLW pun merangsek, Yon II menyambut. Setelah berjibaku beberapa saat, kedua nya saling mengomando menarik diri. Hal ini memperlihatkanan bahwa jalur komando dikedua unit berjalan baik. Bila yang beradu adalah antar fakultas mungkin akan berlarut-larut. Mungkin karena keduanya sudah terbiasa menaati rantai komando di lapangan.
Sebuah kebetulan bahwa hampir 20 orang legiuner petualang yang sedang pengembaran yaitu tim UjungKulon, Rinjani dan Loser belum pulang. Bisa dibilang bila mereka sudah nongkrong kembali di kampus, dapat mengubah situasi. Tim-tim yang baru pulang pengembaraan ibarat tentara baru pulang dari medan perang. Siap tempur masih mode on.
Persoalan memang tak berlanjut, diselesaikan secara dialog walau menyisakan kepenasaran kedua belah pihak. Namun perkelahian ini merupakan yang pertama terjadi padahal bila diiliat dari sejarah keduanya ibarat lahir dari rahim yang sama. Banyak anggota senior bahkan pendiri PLW juga anggota Yon II. Menwa juga ikut memberi materi kala diklat-diklat awal PLW. Suasana harmonis ini terpelihara bertahun-tahun.
Bila diliat dari style anggota PLW yang rata-rata rapih dengan kemeja dimasukkan dan celana jeans serta rambut pendek bahkan cepak, sebetulnya mirip dengan kerapihan anggota Yon II. Berbeda dengan style PA masa itu yang gondrong dengan bandana ngambay dari saku belakang. Mungkin terbawa style senior-senior sebelumnya. Cara berpakaian yang rapih ini, orang akan menganggap mereka seperti bersaudara.
Namun dipagi yang cerah itu, sejarah manis itu terputus. Kedua kakak beradik saling jibaku dan tak pernah benar-benar berangkulan kembali. Mungkin mahasiswa era itu memandang Menwa sebagai representasi kekuasaan, hal mana yang paling mereka kritisi. Padahal seperti pernah diceritakan sesepuh Menwa, Syarief Barmawi, ada masa dimana para anggota Yon II melindungi mahasiswa dengan senapan terkokang di garis depan kampus.
“Kampus sudah dikepung Pemuda Rakyat,” ujarnya mengenang,” kami berjaga didepan kampus siap melindungi para mahasiswa.”
Ada sejarah yang terputus, kedua belah pihak telah lupa muasal cerita dan Pantai Sastra menjadi saksi getirnya hal itu.