Setelah perjalanan laut dua hari dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, tim ekspedisi punya cukup waktu untuk berleha-leha di Ujung Pandang – kelak setelah krismon nama kota ini berganti menjadi Makassar. Ini karena masih ada beberapa hal yang masih perlu diurus sebelum tim caving, climbing dan gunhut bergerak menuju tempat tujuannya masing-masing. Di Makassar mereka diterima dengan hangat di sekretariat Korpala yang berkamar luas, sehingga cukup representatif (bagi ukuran PA) untuk menampung 20-an orang.
Salah satu yang paling bersemangat untuk mengekplorasi kota Makassar adalah Wawan Barang. Sebagai sosialita kuliner, ia sudah ingin melupakan ransum di kapal berupa nasi basah dengan lauk hanya ikan asin dan sepucuk daun sawi.
“Bisa gelo aing.. ransum penjara ieu mah,” ujarnya geram sambil menyuapkan sendok nasi saat makan di kapal ferry.
“Kawas ransum pelatih diklat CR.” lanjutnya
“Har..acan atuh..tilu tahun deui eta mah.”
“Enya..nya..urang asa déjà vu,” gumam Wawan.
“Tapi naha beak wae ransum di kapal na, Wan? “ yang lain nyeletuk.
“Hiss..eta mah jang kalori wungkul keur engke nebas di Latimojong,” ujar Wawan berkelit, “..eta lauk asin na didahar moal?” ia melanjutkan.
Di kampus Unhas, para petualang kita dengan cepat mengetahui bahwa makanan yang paling ekonomis berada dibalik tembok dinding pembatas kampus. Maka sebagai budget traveller kerap mereka menyelinap ke celah-celah tembok untuk mengisi ususnya.
Siang itu serombongan travelcious baru saja pulang mengisi perutnya, di jalan mereka berpapasan dengan rombongan anggota yang baru lulus diklat terakhir. Tampaknya baru akan bersantap siang, terdengar lagu keroncongan berirama dari perut mereka.
“Mau pada kemana nih?” tanya Adjat basa-basi.
“Makan dulu kang, perut sudah lapar” ujar Ono.
“Cukup teu duitna?” tanya Dodi seolah merogoh kocek. Padahal isinya angin.
“Ada kang..dicukup-cukupin aja,” jawab Rully sopan, padahal amat berharap ditambahin.
“Kalem, ditraktirlah ku urang.. hayu neangan kuliner ala Makassar,” ajak Wawan mengayomi. Kebetulan ada teman buat jalan-jalan, pikirnya.
“Ciyus nih kang?” air liur Brenjon mengalir deras. Maklum koceknya siang itu hanya muat untuk sepiring nasi plus tempe bacem. Mereka saling berpandangan dengan mata berbinar-binar, terbayang berbagai kuliner Sulawesi seperti coto Makasar, palubasa, palumara dan es pisang ijo. Slurrp..ah, betapa baiknya punya senior.
“Kalem.. yeuh tempo saku urang,” ujar Wawan dengan meyakinkan sambil menepuk saku kantongnya pok..pok.. memang tampak tebal. Mereka semakin kagum pada kedermawanan Wawan, setidaknya ada ratusan ribu disitu pikir mereka.
“Hayu ka kota,” seru Wawan memberi komando yg langsung diamini penuh semangat oleh pasukan muda. SIAP KANG…! Sementara yang lain tak ikut, karena toh baru saja makan dan memilih menunggu di sekretariat Korpala. Setelah perut penuh, angin sepoi-sepoi dan udara panas kota Makassar memang menggoda sekali untuk bermimpi. Tak berapa lama mereka sudah terbuai bunga-bunga tidur.
“Hudangkeun sore nya rek binjas,” begitu pesan Adjat berbasa-basi sebelum pingsan. Wadul ah, pikir yang lain. Entah berapa lama mereka tidur, saat bangun matahari sudah condong ke Barat.
“Arek binjas teh Beh?” tanya Akuy sambil menguap.
“Enggeus we lah cukup tadi dina ngimpi,” jawab Adjat cengengesan. Tuh pan ceuk urang oge, pikir Akuy.
Akhirnya mereka nangkring saja sambil ngopi memandangi kampus baru Unhas yang luas dan gersang. Seperti Jatinangor pada tahun 1994. Saat kongkow itu tampaklah rombongan kuliner Wawan cs baru datang. Anehnya, kecuali Wawan, yang lain tampak kuyu. Lho, bukannya mau wisata kuliner?
“Kumaha wisata kuliner na?” tanya Bar ingin tahu. Yang ditanya saling berpandangan lesu.
“Boro-boro kuliner..” keluh Ipin dengan suara bergetar menahan lapar.
“Kunaon kitu?” Opik heran
“Kang Wawan cuma bawa 500 perak tadi..” ujar Rully memelas, ” saya kira bawa 500 ribu.”
“Mening dahar ransum di kapal kieu carana mah,” gumam Brenjon frustasi sambil mengetatkan ikat pinggangnya. Yang lain sama tampak pucat pasi, mungkin masuk angin.
“Jadi jajan kuliner naon atuh tadi?” tanya Kupil penasaran.
“Duitna ngan cukup keur martabak polos dipurulukan gula,” jawab Ayung dengan perut kembung.
“Sakitu oge angger we kuliner,” ujar Wawan santai seraya menghembuskan asap roko samsu nya,“ ..isuk rek milu deui?”
HAHAHA..HAHA.. yang lain tertawa berguling-guling. Sebagian lagi koproll. Kuliner ala Makasar ini dipastikan akan sulit mereka lupakan seumur hidup. Wawan tampaknya sedang mengajari mereka filosofi peperangan, semakin jelek ransum semakin tangguh prajurit. Maklum sebentar lagi brigade muda ini akan face to face menghadapi ekstrimnya alam liar. Dan ternyata betul, di medan ekspedisi mereka berjuang seperti prajurit Romawi yang kekurangan ransum -literally.