Melancong ke Pulau Peucang

Lima tahun setelah luluh lantak dimabim badai Ujungkulon, pada tahun 1997 Dudung dan Bar kembali mendatangi semenanjung paling Barat pulau Jawa itu. Kali ini sekedar mengantar jalan-jalan dua senior perempuannya yaitu Titin dan Chandra, yang ingin ke pulau Peucang. Kalau dulu menginap di Sumur, kini mereka sosped di rumah WWF di Padali.

“Kalem arapal da urang crew na,” ujar Dudung yang pernah job di WWF disitu. Tentu saja, rumah WWF ini cukup bersahaja bila dibanding guesthouse di Sumur. Titin dan Chandara agak mesem-mesem ,” Bar ga ada hotel gitu disekitar sini?”

“Wah ga ada, kalo diterusin kesana hutan lebat,” jawab Bar ngawadul. Mayan ngahemat biaya guesthouse, pikirnya. Karena belum pernah ke Ujungkulon, keduanya angguk-angguk saja.

Setelah semalam di Padali, esoknya menuju Taman Jaya berniat menyewa kapal motor ke Tanjung Layar. Tetapi, insting berkata lain.

“Mun ka pos PHPA mah ongkos sewa motorboat na pasti geus ngalipet,” ujar Bar berhitung. Dudung mengamini kondisi itu, mereka pun berhenti di kampung nelayan sebelum Taman Jaya. Lalu sosped mencari nelayan yang nganggur. Daripada nganggur kan lebih baik mengantar mereka ke Tanjung Layar dengan ongkos lebih murah daripada ongkos resmi dari PHPA Taman Jaya. Seorang nelayan yang sedang cengo segera meyanggupi, mereka pun berlayar ke Tanjung Layar dengan niat bermalam di Cibom. Tadinya nelayan menawari bermalam di Handeuleum, namun tempat tu dirasa terlalu jauh dari pulau Peucang. Tempat-tempat sepanjang pesisir Ujungkulon begitu membekas bagi mereka berdua.

“Pa  jemput enjing-enjing nya,” ujar Bar, setelah drop off di Cibom “urang  ka pulau Peucang.” Siap, emang nelayan berkata sigap.

Mereka membuat camp, membangun perapian, bahkan berburu udang di muara Cibom. “Mun baheula kawas kieu..”: gumam Dudung sambil menyate udang ke perapian.

Esoknya perahu nelayan sigap menjemput rezeki pagi, lalu menghantar menyebrang dari Cibom ke pulau Peucang. Dulu mereka tak sempat mengunjungi pulau ini, karena dompetnya cekak.

“Kalem da urang aya babaturan di pulau Peucang,” ujar Dudung.

Menyebrang ke pulau tak memakan memakan waktu lama, tanpa terasa perahu sudah berlabuh di pasir putih. Benar saja, ada teman Dudung disana. Suasana pulau sangat menyenangkan, seperti di surga kecil dimana rusa dan merak berkelaran, pesisir putih yang tak berombak dan hutan lebat. Namun hotel disini berkelas internasional, seperti pulau Moyo di Sumbawa. Karena sifat resort yang komersial, mereka pun tak bisa berkeliaran bebas (dengan gratis). Kala akan menuju Karang Pocong diharuskan memakai guide.

“Maneh mah kawas lain ka baturan wae,” gerutu Dudung ke temannya.

“Atuda kumaha Dung …” ia pun hanya mematuhi aturan tempatnya bekerja.

Berjalan melewati hutan ke Karang Pocong, bagi mereka hanya perjalanan ringan saja. Nu kieu mah teu kudu guide, pikir mereka.

“Sugan teh kawas rute ti Cibunar ka Cidaun ..” ujar Bar.

‘Naha apal geuning?” tanya guide penasaran.

“Bari peureum ge bisa urang mah ti Cibunar ka Cidaun,” ujar Dudung masih kesal harus keluar ongkos guide. Padahal Titin yang bayar.

Karang Pocong merupakan tebing karang di Utara pulau dimana kita bsa memandang lautan lepas dari atasnya. Harus diakui, viewnya memang indah. Semua perjalanan dilalui dengan relax, indah tanpa tensi adrenalin. Menyenangkan… namun bagi keduanya terasa ada rasa yang hilang. Suasana lima tahun lalu kala jatuh bangun di sungai, saling berpegangan menyebrangi muara, nyasar di hutan hanya untuk menyerah pada kekuatan alam. Alam seperti menampar ego-ego mereka kala itu, sedang kali ini ia hanya tersenyum hangat. Barangkali senang bahwa murid-muridnya telah belajar sesuatu dan kembali sowan pada Sang Guru.

 

foto – internet