Kalimat itu adalah secuil pidato berapi-api yang ditujukan kepada pihak Barat oleh Bung Karno. Tegasnya pidato itu menunjukkan bahwa Bung Karno ingin membawa bangsa Indonesia kepada kemandirian dengan harga diri dan martabat bangsa yang terjaga. Akan jadi apa suatu bangsa yang martabatnya tergadai karena bantuan luar negeri melimpah dari negara kaya yang punya kepentingan?
Begitu pula apa jadinya kalau kita berani bertualang hanya bila ada kucuran dana yang besar? Saya membayangkan barangkali dulu kami tak akan pernah kemana-mana, hanya duduk santun di sekretariat belajar organisasi sambil menunggu ada yang mengongkosi. Namun syukurlah tahun 90-an masih merupakan masa militan yang menyenangkan. Berbekal 25 ribu susur pantai sepanjang semenanjung Ujungkulon, berbekal 200 ribu mengejar puncak Tambora-Rinjani-Semeru, berbekal 6 juta nekad ekspedisi 25 orang ke Sulawesi, lalu tak gentar merangsek ke pedalaman Kayan Mentarang tanpa ada kepastian tiket pulang.
Tentu tak ada yang keberatan bila ada yang bersimpati memberi bantuan, namun kala itu sudah terlalu terbiasa tak mengandalkan sponsor. Mungkin karena masih polos dan terlalu lugu, hingga hanya idealisme murni yang jadi panduan imajinasi. Namun karena penuh idealisme itulah menjadi tak mudah dibeli. Bila donasi hanya akan mengekang imajinasi bertualang maka ia boleh pergi jauh-jauh. Setidaknya begitulah sebagian besar petualangan-petualangan yang dulu kami lakoni. Go to hell with your aid.
Kampus adalah masa untuk menumbuhkan idealisme, dan bila mungkin setia memegangnya. Sangat disayangkan bila idealisme dan imajinasi yang sedang kuncup itu menjadi layu karena diiming-imingi oleh berlembar-lembar rupiah. Saat itulah sebenarnya godaan untuk berpegang teguh kepada idealisme awal.
Tentu petualangan pun butuh dana untuk mewujudkannya, memangnya expedisi NatGeo baru-baru ini ke Hkakabo Razi, Myanmar tak berbekal sponsor besar? Namun alangkah wajarnya bila kucuran dana itu tak mematikan imajinasi untuk bertualang menuju tempat-tempat yang memuaskan kepenasaran kita. Bukan ke lokasi pesanan penyandang dana saja. Bila demikian, jangan-jangan bukan petualangan murni yang kita usung.
Saya sempat mendengar cerita alm Adnan Buyung suatu waktu, di TV tentu saja. Kakeknya menanyakan, apa itu harga diri? Apakah bila kita sedang jalan-jalan di mall tiba-tiba ada yang ngasih sejuta apa langsung diterima begitu saja. Bila kita menolak, karena merasa tak punya kontribusi apapun atas hadiah itu maka itulah contoh harga diri. Namun kebanyakan tentu akan menerima saja uang gratis itu. Kapan lagi ada rejeki nomplok seperti itu. Hanya segelintir yang akan menolaknya, yaitu mereka yang tak bisa dibeli.