Mengarusutamakan Konsep PRBBK dalam program Divisi Disaster Management YPI

gempa padangby Luthfi Rantaprasaja

(Catatan ini adalah tulisan terakhir dalam rangkaian catatan perjalanan saya sebagai tanggungjawab personal kepada organisasi untuk melaporkan hasil dari diutusnya kami menghadiri Konferensi Nasional PRBBK di Yogya awal bulan Desember 2011 lalu)

 

Diawali oleh tulisan pertama yang menceritakan mengenai proses yang mengawali untuk dapat memenuhi undangan serta harapan-harapan yang ingin dicapai dalam keikutsertaan Palawa Indonesia dalam konferensi tersebut. Kemudian pada tulisan kedua yang menceritakan suasana konferensi dan juga suasana personal selama mengikuti konferensi nasional PRBBK ke-7, namun yang pertama kalinya dihadiri oleh perwakilan dari Palawa Indonesia, serta bagaimana harapan-harapan yang ditargetkan diawal dapat terpenuhi sejalan berlangsungnya kegiatan sampai dengan akhir.

Selanjutnya tulisan terakhir ini sebagai refleksi dari apa yang didapat selama mengikuti kegiatan tersebut dan sedikit sumbang saran bagi alternatif pengembangan program di Divisi Disaster Management Yayasan Palawa Indonesia.

Seperti diketahui, selama ini kiprah Divisi Disaster Management di Yayasan Palawa Indonesia dalam konteks PRB atau pengurangan resiko bencana lebih banyak berfokus pada saat kejadian bencana melalui kegiatan tanggap darurat. Walaupun divisi ini bisa dibilang masih dalam fase mencari bentuk, beberapa aktivitas emergency response atau tanggap darurat bencana telah berhasil dilaksanakan. Tentunya hal tersebut terkait dengan situasi kejadian bencana yang dapat direspon organisasi berdasarkan kemampuan sumber daya yang ada, melalui kegiatan tanggap darurat bencana.

Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat ada beberapa aktivitas tanggap darurat bencana Yayasan Palawa Indonesia seperti aksi tanggap bencana melalui distribusi logistik bantuan kemanusiaan pada kejadian bencana gempa di Pangalengan 2008, pengiriman logistik bantuan kemanusiaan yang saat itu sudah disertai sedikit assesment awal pada kejadian gempa di Padang 2009, kemudian memfasilitasi program ‘Qurban for Merapi’ pada kejadian erupsi Gn. Merapi di Yogya 2010 dan lain sebagainya. Adapun beberapa kejadian seperti bencana tsunami di Mentawai, banjir bandang Wasior di Papua, meletusnya Gn. Sinabung dan beberapa kejadian bencana lainnya, semata karena keterbatasan sumberdaya tidak direspon secara khusus oleh organisasi namun lebih pada respon secara personal.

Perhatian atas kejadian bencana sejatinya telah lama muncul bahkan jauh sebelum organisasi Palawa Indonesia berdiri. Palawa Unpad sebagai embrio dari Yayasan Palawa Indonesia, sudah sering melakukan berbagai misi terkait penanggulangan bencana. Namun layaknya organisasi kepecintaalaman di tingkat universitas, keterlibatan Palawa Unpad lebih kepada aspek volunterism atau sebagai relawan bencana yang seringkali terlibat sebagai tim evakuasi bencana yang dengan pengalaman & ketrampilan alam bebasnya bertugas mencari, menyelamatkan, mengevakuasi & melakukan pertolongan darurat para korban bencana. Beberapa personal yang ikut aktif di Yayasan pun bahkan secara personal, memiliki pengalaman yang cukup intens dalam beraktivitas di berbagai daerah kejadian bencana.

Sebenarnya dengan adanya wadah Yayasan Palawa Indonesia, beberapa penggiat bahkan mengimpikan sebuah pelembagaan program tanggap bencana dimana salah satu implementasinya adalah dengan membentuk Unit Reaksi Cepat Yayasan Palawa Indonesia, lengkap dengan sarana & prasarana yang menjadi kebutuhan standar sebuah tim tanggap bencana. Dimana nantinya tim ini akan siap dikirimkan kemana saja dan kapan saja setiap kali ada kejadian bencana di Indonesia. Ide ini didasari oleh pengalaman para penggiat sendiri yang mana pada saat tanggap darurat bencana seringkali terdapat berbagai permasalahan antara lain karena dalam waktu yang sangat singkat, kebutuhan yang mendesak, tergantung pada sumber daya lain dan berbagai kesulitan koordinasi yang disebabkan karena banyaknya institusi yang terlibat dalam penanganan darurat bencana, kompetisi dalam pengerahan sumberdaya dan lain sebagainya sehingga apabila memiliki tim reaksi cepat dengan sarana & prasarana yang memadai akan memperlancar penyelenggaraan penanganan darurat bencana secara mandiri (lih. Mas Oktavian, Proposal Pembentukan URC YPI, 2010).

Usulan ini sudah dibahas dalam rapat kerja yayasan yang lalu dan bahkan acuan & sistem kerja sudah jelas tergambar pada tupoksi & protap yg diusulkan. Inventarisasi dan survey pemenuhan peralatan dan personil yang dibutuhkan pun sudah sempat berjalan. Namun demikian, mengingat sumberdaya yang dibutuhkan tidak sedikit untuk mewujudkan ide ini dan sadar atas keterbatasan waktu dan dana yang tersedia, maka program tersebut akhirnya tidak sampai tuntas terlaksana.

Belajar dari keikutsertaan kami di Konferensi Nasional Pengelolaan Bencana yang lalu, ternyata sebenarnya banyak ragam alternatif program PRB dari contoh praktek-praktek terbaik pengelolaan bencana yang berhasil dilaksanakan walaupun dengan segala keterbatasan sumber daya yang ada. Bahwa ternyata dengan mengarustamakan konsep Pengelolaan Bencana Berbasis Komunitas kendala-kendala klasik program seperti diatas seharusnya bisa teratasi dengan sendirinya. Tinggal bagaimana divisi disaster management YPI mampu merubah paradigmanya dari keinginan membuat program tanggap darurat yang lebih bersifat formal-teknis tersebut diatas menjadi program berbasis pendampingan masyarakat yang lebih informal-sosial kultural.

Bila kembali kepada pengalaman keterlibatan YPI dalam pengelolaan bencana pada setiap kejadian bencana selama ini. Permasalahan di lapangan yang sering dihadapi menegaskan bahwa sudah saatnya ada pergeseran dalam merancang suatu program pengelolaan bencana. Dimana tidak lagi melihat bencana secara parsial dan responsif, baru akan bereaksi ketika terjadi kejadian bencana namun sudah harus melihat secara holistik dan integratif. Paradigma pengelolaan bencananya harus sudah melibatkan komunitas rawan dan terdampak bencana semenjak dari awal. Masyarakat tidak hanya menjadi pelaku pasif yang menunggu inisiatif aktif pelaku luar, penggiat pengelolaan bencana, baik dari pihak pemerintah, LSM dan organisasi swasta lainnya namun secara aktif melembagakan Pengurangan Resiko Bencana dengan sebisa mungkin memanfaatkan sumber daya lokal yang dimilikinya.

Secara praktis, langkah awal yang bisa dilakukan adalah, melakukan pendataan dan pemetaan daerah rawan bencana untuk kawasan Jawa Barat dan Banten. Data ini sepertinya bisa didapat secara sekunder dari pemerintah provinsi Jawa Barat dan Banten, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dari Badan Geologi, Badan Pengelolaan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat & Banten serta instansi-instansi terkait lainnya.

Setelah data didapatkan maka selanjutnya dianalisa untuk kemudian ditentukan daerah mana yang akan dilakukan assessment awal. Daerah yang akan menjadi lokasi assessment ditentukan melalui penyeleksian berdasarkan kriteria tertentu, misalnya pertimbangan tingkat ancaman, kerentanan masyarakat serta aksesibilitas relatif organisasi untuk masuk dalam masyarakat tersebut.

Tahap berikut adalah dilakukannya survey assessment awal, melalui metoda memasyarakat dalam beberapa hari, dimana tujuan dari aktivitas ini adalah mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tersebut berikut kapasitas dan ketahanannya dalam konteks PRB. Dari informasi ini, akan ditemukan dua alternatif: apakah PRB telah melembaga dalam masyarakat tersebut sehingga tujuan lanjutan YPI kemudian adalah membangun jaringan komunikasi bencana sebagai referensi manakala ada kejadian bencana di kemudian hari; atau apabila ternyata diketemukan bahwa justru komunitas tersebut sedemikan rentan maka tujuan lanjutan YPI adalah menyiapkan program dalam rangka meningkatan ketahanan komunitas tersebut terhadap resiko bencana.

Demikian sedikit sumbang pendapat kami, yang pada dasarnya juga merupakan rangkuman dari pengalaman, pembelajaran dan diskusi dengan saudaraku sekalian selama ini. Semoga tulisan ini dapat memancing kritik dan saran lebih lanjut demi pengembangan program divisi disaster management supaya menjadi lebih baik lagi.

Keterangan foto : Gempa Sumatera barat/Rifki Areadi