Rasa Itu Mengembara Kemana Saja

73843_165606753472944_7115240_nby Rina Agustin

Aku pernah bertanya pada temanku yang benar-benar belum terkontaminasi olehku, waktu itu aku baru turun dari bis jemputan di tempat kerjaku.
“Kalau pagi seperti ini, apa yang kamu rasakan?”
Dia sedikit heran sambil menatap lurus bangunan kokoh pabrik
“Biasa aja, sedikit malas untuk memulai kerja”.
“Bukan..bukan itu maksudku, sekarang lihat matahari yang hangat itu yang sedikit kalah dengan tiup angin yang mendingin ini” temanku ikut sedikit menyapu pandangannya ke sekeliling.
”Apakah kamu tak merasakan sesuatu, bahkan saat angin itupun menerbangkan daun-daun kering lepas dari pohonnya” desakku selanjutnya.
”Aku cuman pengin bergegas ke pantry karena perutku sudah mulai protes nih”

Akupun terdiam merasa aku sedang berdiri memandang matahari lembut yang naik perlahan ditingkahi sepoi angin dingin di punggungan Sanggara, atau di tengah Tegal Panjang belasan tahun lalu atau malah di Panawa yang baru beberapa waktu terlewat.

Sekali lagi aku sedikit memaksa temanku untuk berangan selagi menyelesaikan jalan setapak yang rindang menuju pantry di pabrik tempat kerjaku.
”Kalau sore saat matahari bersiap pulang dan langit mulai memedarkan cahaya terindahnya, kamu ingin berada dimana saat seperti itu ?”
”Yaa…di mall lebih baik, sambil gigit pizza dan melihat mereka yang hilir mudik memburu peradaban” jawabnya sedikit serius.

Sebelum dia meneruskan jawabannya aku bagai sedang duduk beralas hangatnya pasir pantai di Cikembulan sana, di Sancang atau di Ujung Genteng sambil menunggu matahari kembali ke peraduan. Bahkan aku teruskan beberapa saat sampai matahari itu benar-benar menghilang yang seketika digantikan sinar purnama yang perlahan naik, aku ingat betul bahwa momen indah itu pernah aku saksikan di pantai Cikelet.

Sebenarnya tidak cuma pagi itu, sering aku diharu birukan oleh rasaku sendiri. Padahal aku bukan petualang sejati, bukan pengejar puncak-puncak tertinggi atau sungai-sungai ber-grade tinggi. Aku hanya sedikit berani untuk keluar lebih jauh dari rumah dan selalu membawa hati di setiap perjalananku.

Banyak hal yang terjadi di keseharianku selalu memunculkan sensasi kenangan saat diluar sana. Saat aku melihat warna biru, perlahan muncul keindahan biru selat Lombok, biru Kawah Putih, biru langit Selorejo. Ketika kunikmati nada, sekelebat terdengar Angel-nya John Secada yang kami nyanyikan meningkahi hujan lebat di Pantai Carita, atau sayup I will love you-nya Whitney Houston dari radio di kabut Situ Lembang dulu.

Saat naik ojegpun masih terasa betapa pegalnya pantatku berojeg menyelesaikan jalan berbatu Kabandungan – G. Halimun, atau perihnya betis yang terkena knalpot sesaat terpelanting dari ojeg ke bibir jurang di Kombongan. Bahkan saat buang hajatpun, aku masih ingat ikhlasnya Ira melihat tupperware kesayangannya tertelungkup jatuh tepat sasaran di tengah kebun karet Cibogo atau Riky yang harus terbirit-birit menuruni kebun teh menuju kolam di Cukul.

Semua itu hadir begitu saja, tidak sekedar terkenang tapi lengkap dengan suasana hatinya. Barangkali rasa ini juga yang membuat jalan hidupku terplot dekat dengan alam, atau sebaliknya..? Bahkan sampai saat pertama menjadi seorang karyawan dimana bangunan kotak pabrik ada didepan mataku, aku malah bertemu Haris yang pernah satu bis saat berangkat ke Ayung untuk kejurnas arung jeram dulu.

Akhirnya keberadaankupun sering mengkontaminasi lingkungan sekitarku, kelompok bermainpun muncul di titik-titik keberadaanku, mereka yang selalu rindu untuk sekedar melihat yang hijau-hijau atau untuk mencium bau hutan. Padahal aku tidak pernah memaksa mereka untuk ikut merasa, aku hanya berbagi cerita. Seperti cerita kerang ”mata sapi” yang menjadi menu favorit saat susur pantai, lalu aku benar-benar membuktikannya, sehingga mereka percaya dan menagih hal-hal menarik apa lagi yang ada diluar sana.

Akupun tidak pernah pantang untuk kembali ke tempat yang pernah aku singgahi, bahkan yang aku pikir tidak akan kudatangi lagi. Bagai sebuah mimpi saat aku harus menyusuri satu demi satu perjalanan yang sudah bertahun-tahun lalu aku lalui, sementara teman disampingku bukan teman-temanku dulu. Saat aku harus bertemu dengan orang-orang yang dulu pernah kuakrabi, Bu Imih di Gunung Buligir, Bu Lurah di Pakenjeng atau pak Aceng di Malabar yang terheran-heran melihat aku kembali kesana.

Tak tahu sampai kapan dan sejauh mana akan kulangkahkan kakiku ini keluar sana, yang pasti rasa ini akan selalu mengembara kemana saja dan yang aku khawatirkan jika rasa itu menjadi butir-butir kerinduan yang tak terbendungkan oleh ragaku.

…just a little adventure, I’ll miss you!!

(2009 )

foto : Alya Qonita Putri