by Dodi Rokhdian
Membayangkan keberadaan sebuah kelompok etnik yang serba asli, murni, dan yang steril tak dipengaruhi kebudayaan lain nampaknya hanyalah sebuah fiksi antropologis semata. Etnik H’mong misalnya – suku yang hidup disekitar Kota Sapa di Vietnam Utara – dalam penelusuran jejak sejarah ternyata sejak 100 tahun lalu telah menjadi objek kepentingan kolonialisme Perancis dalam industri pariwisata.
Adalah Gubernur Jenderal Perancis di Indochina, Paul Doumer, dimana pada tahun 1898 ia menginginkan sebuah tempat yang bisa dijadikan sebagai pusat pemulihan tentara Perancis yang terluka saat berperang. Kota Sapa dengan segala keindahan dan kesejukan iklimnya singkat kata terpilih sebagai tempat pemulihan tersebut. Untuk mewujudkannya diutuslah missionaris yang punya keahlian tambahan dalam penguasaan bahasa lokal dan ethnologi. Mereka dikirim selain untuk mengganti agama asli dengan agama baru, juga bertugas menjalin relasi dan menyelidiki kehidupan penduduk asli, melakukan cacah jiwa, memukimkan, mereorganisasi struktur kepemimpinan, yang ditujukan untuk mengontrol dan menaklukan etnik-etnik yang tersebar dan memeragakan perladangan berpindah sekitar pegunungan sekitar Sapa.Terkait dengan daya jelajah perladangan tersebut, maka etnik Hmong kerap disebut sebagai ‘mountainous groups’ atau ‘Free People’.
Berikutnya tahun 1903 berdiri markas tentara, lalu informasi dari para tentara tentang keindahan lanskap pegunungan Sapa tersebar ke belahan benua Eropa. Tahun berikutnya jalanan dibangun, agen wisata berdiri yang diikuti pembangunan hotel, villa, pabrik, dan sarana pendukung lainnya. Dampaknya adalah pada tahun 1924 Sapa dikunjungi 900 orang wisatawan Eropa untuk pertama kalinya. Mereka menghabiskan waktu untuk berlibur selama berminggu-minggu, dan di situlah kontak-kontak terjadi antara wisatawan dengan etnik asli yang telah dimukimkan kolonialis Perancis.
Usaha terpadu ini juga dibarengi dengan merombak tradisi pertanian berpindah kedalam budaya pertanian menetap, sambil dihembuskan padanya tentang imaji hidup beradab versi pihak kolonial. Kota Sapa dengan itu akan mendapatkan jaminan pasokan bahan pangan, papan, dan tenaga kerja untuk mendukung perkembangan sebuah kota. Hingga seperti saat kami berada di sana di akhir Maret 2011, maka identitas etnik Black Hmong yang kerap digembar-gemborkan sebagai kelompok etnik yang masih asli dan setia dengan tradisi leluhurya, ternyata telah menjadi sosok etnik yang hybrid, kosmopolit, dan pandai bertutur dengan bahasa pergaulan dunia. Konstruksi identitas rupanya dicipta, dibentuk, dan dimainkan oleh sejarah, kultural, dan kekuasaan, yang secara terus menerus berproses dan tersituasikan.
Tentang keaslian identitas etnik? Ah itu mah hanya imaji dan fiksi-fiksi antropologis semata.