Era 90-an PLW seperti sedang kelebihan energi dan bila tak tersalurkan energi muda yang berlebih ini berpotensi eksplosif karena mudah meledak. Semangat seperti api yang menyala-nyala ini bila tak menemukan kegiatan yang membuatnya tersalurkan, bisa ikut membakar siapa saja yang menyentuhnya. Namun faktanya, kehidupan tertib berorganisasi pun kala itu tak ditinggalkan bahkan dalam skala full throttle, kalau judul film Charlie’s Angels. Setidaknya dua tahun sekali kegiatan besar digelar dalam kurun waktu satu dekade.
Tampak di sudut bangku panjang sekretariat ketua ekspedisi Luthfi dan bendahara Dudung sedang mengurut-urut keningnya masing2. Seperti menanggung beban maha berat dalam kehidupan yang fana. Bersamaan dengan itu beberapa kamerad baru datang, sepertinya bolos kuliah lagi.
“Kunaon Phil..Dung… aya nu macem2?” tanya Wawan siap membela. “Halik ku aing..” ujarnya menirukan Robby Darwis libero legendaris Persib.
“Lain, ieu dana ekspedisi karak turun,” ujar Luthfi lirih.
“Alus atuh, mun kitu mah jadi ekspedisi teh.. tapi naha bet muyung?” Dodi heran.
“Ngan di-acc 5 juta..” Dudung buka suara dengan nada memelas, “..hanas urang pedekate wae ka Kabid umum…sakitnya tuh disini..”
“Hemmm..disitu kadang saya merasa sedih..” ratap Opik yang kala itu menjabat ketua DP.
“Kumaha tah mun kitu, Bram?” Dodi iseng nanya ke Bram tukang kueh yang sedang nunggu dibayar.
“Bukan urusan saya,” jawab Bram ga mau tahu.
Tahun 1994. Banyak yang berharap tahun itu akan menjadi sebuah milestone dalam dunia petualangan di kampus. Ekspedisi Sulawesi sudah dicanangkan harus dilakukan dengan skala yang belum pernah ada sebelumnya. Selama masa persiapan mereka pun sudah mencari perbandingan ke Mahitala yang pernah melakukan hal serupa di Sulawesi.
“Setidaknya operasional kami butuh 25 juta rupiah waktu itu,” ujar salah satu personil Mahitala yang setahun sebelumnya ekspedisi ke Sulawesi itu ,”itu pun yang berangkat ga sebanyak itu tim PLW sekarang.”
“Oh..begitu ya..” Adjat mulai gamang mendengar angka segitu.
“Budget nya berapa ekspedisi ini?” tanya mereka. Sabaraha nya, Bar, bisik Adjat, urang ge poho deui.
“Lima puluh juta,” jawab Bar asal.
“Ooh, aman kalau begitu..” sambut mereka tak waspada.
Gelo …, gumam Adjat dalam hati, padahal can saperak-perak acan nu kakumpul na oge.
Dana yang disyaratkan sebesar 25 juta, itu sekitar Rp 150 juta masa kini bila berpatokan pada dollar 1 USD = Rp 2.200 tahun 1994. Lima juta yang dikeluarkan rektorat berarti sekitar 30-jutaan. Itulah yang membuat kening ketua dan bendahara ekspedisi berkerut makin dalam. Kalau hanya memberangkatkan sepuluh orang sih dana segitu masih aman, tapi ini yang berangkat lebih dari dua lusin. Namun mencoret sebagian personil sama sekali bukan opsi. Leave no man behind.
Dengan jumlah personil sebanyak 25 orang, Luthfi sudah menghitung dari 5 juta itu 3 juta sudah pasti hilang sebagai ongkos bertarif ekonomi p.p dari Bandung ke Makassar. Tinggal dua juta, cukupkah buat operasional di Sulawesi dan logistik? Cukup kalau disana semua berpuasa. Tentu ini memerlukan plan B. Semua berembuk serius, diputuskanlah kalau bisa selembar tissue dan tusuk gigi pun dihemat dalam ekspedisi ini. Akhirnya sebuah solusi getir muncul, semua personil iuran 50 ribu seorang. Tiap orang dituntut berkorban demi ekspedisi besar ini, jangan mau gratisan terus kalau mau membuat suatu yang besar. BIla perlu uang SPP diembat dulu. No compromise. Pahit, tapi tak ada jalan lain. Lagipula, sudah biasalah kalau ngembat SPP untuk bertualang mah.
Tambahan 1,25 jt dan kemudian beberapa rupiah lagi dari pemasukan serabutan pun mengalir masuk ke kantong bendahara. Wajah Dudung yang tadinya runyam kembali bercahaya remang, seperti orang pusing yang sudah diberi Panadol, masih kleyengan tapi sudah bisa berjalan. Dana segitu tentu masih jauh dari ideal tapi cukup membuat nafas ekspedisi lebih panjang walau ngos-ngosan.
Ekspedisi atau pra-ekspedisi lain yang diberangkatkan dari kampus kala itu, kurang lebih dengan kondisi serupa, pendanaan yang compang-camping. Katakanlah ekspedisi Andalas, Kayan Mentarang, Batu Unta, lembah Trikora dan sebagainya. Beberapa ekspedisi bahkan batal digelar karena setelah diperas habis-habisan pun, dana tetap tak cukup bahkan tak turun samasekali seperti ketika akan ke Lobuje East di Nepal. Toh semangat bertualang tak pernah redup.
Pendanaan compang-camping tak pernah menjadi rintangan untuk terus menelurkan ide-ide petualangan yang lebih dari sekedarnya. Independensi dan militansi membuat mereka tak menghiraukan semuanya, kacamata kuda. Walau serba kere, sepak terjangnya telah meninggalkan kesan tak terlupakan dan ketika surut dari kampus, setidaknya gaya grasak-grusuk itu meninggalkan legacy tersendiri kepada generasi berikutnya. Semangat untuk bertualang. Cayooo..!