Jumatan di Burangrang

dscf0175Kondisi di medan operasi diklat seringkali membuat siswa melupakan kewajibannya untuk sembahyang, bahkan mereka yang paling taat sekalipun. Berbagai rasa seperti lelah, lapar, ngantuk, malas dan sebagainya bercampur aduk sehingga kewajiban itu terlewatkan. Itu belum ditambah dengan cuaca yang hujan, baju dalam keadaan kotor dan basah serta ketidakpastian waktu istirahat.

Namun tidak pada hari  Jumat itu di kaki gunung Burangrang. Setelah beberapa hari diklat berlangsung, para siswa menuntut diadakannya sholat Jumatan di tengah hutan. Ini memang lucu, mengingat sehari-hari saja sering terabaikan. Bahkan pada awalnya isu sholat Jumat ini sendiri tak populer di antara siswa hingga kemudian muncul bisik-bisik bahwa dengan Jumatan maka otomatis waktu istirahat bisa makin panjang. Faksi-faksi diantara para siswa pun bergabung dalam Sekretariat Bersama untuk mengawal hak angket ini kepada pelatih.

Segera saja wacana ini bergulir dengan semangat, diperjuangkan oleh semuanya. Siswa puteri tak ketinggalan memberi mosi percaya kepada Danlas untuk menyampaikan hal tersebut ke pelatih. Ini tentu bisa jadi alasan yang bagus untuk mengulur waktu ke materi berikut yang menguras tenaga. Maka ditemani perwakilan faksi-faksi siswa, Danlas pun menghadap ke pelatih untuk menuntut diadakan sholat Jumat.

“Ini sesuai undang-undang kebebasan beragama,” ujar Peking kepada kesiswaan. Walau UU sendiri baru akan muncul sepuluh tahun kemudian, dalam hal ini Peking mencoba visioner.

“SKB tiga menteri,” Wawan Barang memperbuas situasi.

“Bila tidak akan ada keresahan,” ancam Firkan.

“Dirikanlah sholat..,” Adjat sedikit mengutip ayat, walau hanya hapal sampai segitu.

Kesiswaan yang bertugas melindungi siswa kini malah ditekan oleh siswanya sendiri. Air susu dibalas dengan air tuba istilahnya, namun mereka tak peduli. Wilman yang menjabat kesiswaan menghadapi situasi pelik, karena baru kali ini para siswa berdemo. Ia belum pernah membaca yurisprudensi ini dalam diklat sebelumnya, maka hal ini pun diekskalasi kepada struktur diklat. Hingga saat ini para siswa kelihatan berada diatas angin.

Terra sebagai Wadanlat menjadi serba salah, Bonk sang Danop pun bingung. Namun masalah agama bisa menjadi sangat sensitif, demikian mereka berpikir. Isu SARA harus dihindari. Setelah berembuk sejenak, mereka mengijinkan para siswa mengadakan sholat Jumat. Delegasi siswa pulang  dengan kemenangan menuju area bivak. Mereka disambut bak pahlawan reformasi.

“Saha nu bisa jadi khotib?” Adjat bertanya. Kini para siswa bingung sendiri.

“Geus we maneh, Kan,” usul Bais.

“Rek ngomongkeun naon nke urang?” tanya Firkan yang belum pernah jadi khotib Jumatan.

“Naon we lah asal lila,” cetus Wawan Barang.

Semua lalu sepakat mendaulat Firkan menjadi khatib selama diklat berlangsung.

“Masya Alloh, urang nu jadi ketempuhan ieu mah..” keluh Firkan padahal ia pun bermaksud  ingin tidur kala ceramah Jumatan. Namun mandat sudah diturunkan dan segera disahkan menjadi TAP No 001 diantara para siswa. Sebagai pengganti ketok palu, maka golok tebas ditancapkan ke pohon pisang. Cleb..cleb..!

Areal apel pagi dijadikan tempat menggelar Jumatan, dengan alas sholat dari ponco yang dibawa. Semua siswa laki-laki segera duduk dengan antusias di forum, bukan karena ingin mendengar ceramah Firkan namun karena ingin segera tidur. Beberapa pelatih yang ada di medan operasi mau tidak mau ikut berkumpul untuk ikut Jumatan. Tidak ikut Jumatan akan kelihatan kurang teladan dimata siswa, barangkali begitu mereka berpikir.

“Bla..bla..bla..,” entah apa yang dikatakan Firkan selama ceramah Jumat, karena sebagian besar tertidur pulas sambil duduk.

“Ehm..ehm,” Adjat berdehem disela-sela tidurnya setiap khatib keliatan akan mengakhiri ceramah. Firkan pun terpaksa terus melanjutkan ceramahnya sambil memandang iri kepada barisan dibelakang yang sedang ngorok. Beberapa meneteskan air liur saking pulasnya.

“Grook..grook..”

“Hiiik..hiiiik…”

“Zzzzz..zzzz,”

Suara ngorok bersahut-sahutan diantara kelebatan hutan di gunung Burangrang pada siang hari itu. Memang jarang-jarang ada kesempatan untuk tidur siang. Pelatih tidak dapat berbuat apa-apa, melihat siswa menghirup kebebasan beragama itu.

Ketika qomat dikumandangkan pertanda sholat Jumat akan dimulai para siswa yang tidur pulas baru menggeliat bangun.

“Heuayy.. pedo euy sare..” dengan innocent Bar menguap sambil menggeliatkan tubuhnya. Krekk..krek..ia meluruskan otot-ototnya yang kaku.

“Alah siah urang singsireumeun euy..” kata Luthfi.  Kesemutan maksudnya.

Arief bangun terhuyung-huyung, Sobur melap air liurnya dan Dudung entah sudah bangun atau masih tidur tapi dengan mata tertutup ia ikut berdiri. Yang masih tidur pulas harus dibangunkan oleh yang lain supaya tersadar.

Apapun motivasinya, momen sholat Jumat membangkitkan kesadaran diri para siswa, dan sekali kesadaran diri itu tumbuh ia tak akan bisa dihilangkan. Maka minggu selanjutnya   kala materi berlangsung di Ranca Upas mereka kembali menyampaikan hak angket kepada pelatih menuntut diadakan Jumatan kembali…dan momen seperti di atas pun berulang kembali.