“Urang teu bisa sare tadi peuting.. cai tinggal sababaraha meter ti tempat sare, maraneh harese digeuing-geuing euweuh anu ngenjat jadi urang jaga sapeupeuting,” ujar Ulloh pagi-pagi sambil garuk-garuk kepala dan raut muka yang menunjukan kekurangan tidur.
Yang lain tampaknya terlalu capai untuk terbangun akibat pengarungan sungai kemarin yang cukup menegangkan dan melelahkan, cukup untuk menguras semua energi yang dihasilkan dari perpaduan nasi plus biscuit ditambah seruput air yang mengandung vitamin C. Sore sebelumnya ketika memasuki hole hampir saja membuat perahu terbalik. Posisi depan perahu yang semula mengarah kearah hilir sungai mendadak tertahan oleh suatu tenaga yang luar biasa besarnya seperti naga yang hendak menerkam mangsanya sehingga membuat posisi perahu menjadi miring. Tak sampai sepersekian detik kejadian tersebut posisi tubuh Mas sudah oleng tidak mungkin lagi untuk bertahan diatas perahu untung saja kakiku terkait kepada kaki Opik sehingga tubuhku yang sudah sejajar dengan permukaan air masih bisa kuluruskan kembali.
“Oh, Tuhan terimakasih… aku tidak jadi bergelut dengan gumpalan air yang bandang di sungai Cimanuk,” desah Mas masih dengan hati yang berdesir.
Sebelumnya hari sudah menjelang magrib ketika perahu yang mereka tumpangi sudah finish di Jembatan Leuwigoong. Namun karena terasa tanggung menjalani nikmatnya ayunan air sungai maka perjalanan pun melanjutkan. Setelah kejadian yang hampir memuntahkan awak perahu ke sungai tersebut akhirnya tanpa diskusi lebih panjang mereka menepikan perahu di pinggir sungai dan langsung melakukan penambatan disertai dengan persiapan untuk bermalam.
Waktu menunjukan lewat magrib kala itu. Para awak perahu membuat base camp persitirahatan yang berjarak sekita 8 meter diatas permukaan sungai. Malam itu terasa indah sekali walaupun setiap orang didera perasaan lelah, tegang, nikmat, takut bercampur baur menjadi satu bagian. Semalaman itu dilalui dengan obrolan diskusi pengarungan yang baru saja dilakukan tak lupa rencana pengarungan besok pagi menjadi menu utama diskusi malam itu. Wuih asyiknya.
Simulasi ekspedisi
Bermula dari obrolan ringan di sekertariat Dipati Ukur yang merupakan markas kegiatan, Opik mengusulkan suatu simulasi kegiatan ekspedisi arung jeram. Ide awalnya ialah bagaimana mensimulasikan kegiatan arung jeram untuk ekspedisi dari mulai pra kegiatan, kegiatan dan pasca kegiatan. Disepakatilah suatu bentuk kegiatan simulasi ekspedisi pengarungan sungai dengan mengambil lokasi simulasi adalah sepanjang Sungai Cimanuk mulai dari kota Garut sampai Limbangan. Tim yang akan terlibat terdiri dari empat orang yaitu Mas, Diki, Opik dan Ulloh.
Pagi hari berikutnya mereka berangkat dari kampus dengan semangat juang ‘45 layaknya prajurit yang siap berperang ke medang perang. Dengan menggunakan angkutan kota mereka bergerak menuju Terminal Cicaheum dilanjutkan dengan menggunakan Elf menuju Kota Garut. AJB (Angkat Jinjing Banting) adalah istilah yang sudah melekat dengan penggiat arung jeram di kampus. Tanpa kendaraan pribadi pun kegiatan harus tetap berjalan, itulah prinsip mereka. Seringkali karena keadaan mereka menginap di terminal dikarenakan tidak adanya angkutan lagi yang menuju kearah titik start lokasi pengarungan. Keyakinan akan suatu kegiatan yang didasari niat baik itulah yang memompa Mas dan teman-temannya untuk tetap beraktifitas dengan daya dukung yang terbilang minim.
Siang hari mereka sampai di pusat Kota Garut tepatnya di depan Rumah Sakit Garut. Laksana prajurit yang terlatih yang melakukan misi, setiap orang melakukan tugasnya masing-masing dengan memulai pekerjaan sesuai yang telah direncanakan. Tugas pertama yang dilakukan adalah pengembungan perahu, dengan gerakan yang teratur laksana sedang melakukan Senam Kesegaran Jasmani ala anak-anak Sekolah.
Sedikit demi sedikit bentuk kembung dari sang karet mulai terlihat. Lambung kiri, lambung kanan, bantalan depan dan belakang diakhiri dengan pengisian angin di lantai, tugas pertama selesai dilakukan. Tugas berikutnya adalah bagaimana semua peralatan yang mereka bawa diluar alat-alat yang dipakai bisa diangkut kedalam perahu. Semacam jalinan yang terdiri dari ikatan webbing, sling dan tali statis dirangkai menjadi suatu jaring yang dikaitkan menggunakan cincin-cincin yang tebuat dari almunium alloy untuk menempatkan semua peralatan. Mulai dari dry bag, alat masak dan makan, alat tidur, peralatan rescue, kamera, dan lain-lain tumplek menjadi satu di dalam jaring tersebut. Posisi jarring diletakan ditengah tepat diantara lambung depan dan belakang sehingga tidak menggangu formasi genap personil perahu yang akan melakukan pengarungan. Tugas berikutnya adalah tugas yang tak kalah penting dari tugas-tugas sebelumnya yaitu berdoa kepada Tuhan sesuai dengan keyakinan masing-masing semoga perjalanan yang akan dilakukan mendapat perlindungan dari-Nya dan kembali ke rumah masing-masing dengan selamat.
Etape I Jager – Leuwigoong
“Kamari aya lima jalmi anu palid, opat jalmi tos kapendak kantun hiji deui teu acan kapendak” ujar seorang pemancing di tepian sungai ketika mereka akan mulai mengarungi sungai Cimanuk antara jalur Leuwigoong-Limbangan.
Keempat awak perahu karet hanya bisa saling bertatapan muka satu sama lain sambil melihat ke arah badan sungai yang sepertinya sudah hampir tidak cukup lagi menampung desakan air yang mengalir dari hulu diakibatkan hujan semalam. Namun itu tak menyurutkan semangat mereka untuk memulai latihan.
Siang hari, pengarungan pun dimulai. Posisi skipper (istilah pengemudi perahu di kalangan pengarung jeram) di percayakan kepada Diki. Kemampuan teknis dilapangan beserta kemampuan mental seperti ketenangan dan menganalisa kondisi lapangan yang dipunyai oleh individu ini menurut kita tidak perlu diragukan lagi, lainnya sebagai pendayung yang bertugas mengikuti instruksi skipper. MAJU, MUNDUR, KANAN BALIK, KIRI BALIK, STOP, BUMMMMMM adalah kata-kata yang diinstruksikan oleh sang nakoda perahu.
Pengarungan antara jalur Garut kota hingga Jagger tidak terlalu istimewa dikarenakan hanya ada riak-riak kecil selebihnya adalah full mendayung. Memasuki wilayah Jager awal mula untuk Cimanuk etape I tinggi muka air mulai terlihat meninggi. Satu persatu bentukan sungai yang mengakibatkan adanya proses desakan, turbulensi dan hisapan terhadap objek diatasnya terlewati, teriakan-teriakan hore…hore…asyik…aaaaaaa dari pendayung terdengar asyik membentuk suatu nada yang teratur, kadang kala pendayung didepan menyerahkan mukanya untuk ditampar oleh deburan-deburan air yang terjadi. Kondisi sepanjang sungai Cimanuk etape I ini boleh dikatakan naik kelasnya dibandingkan dengan ketinggian air normal. Kalau boleh kami klasifikasikan antara grade 2-3 jikalau dalam kondisi normal menjadi grade 3, satu dua jeram berubah menjadi grade 4.
Etape II Leuwigoong – Sasak Beusi
Walau debir air terlihat naik diputuskan misi tetap dilanjutkan sesuai dengan rencana. Tak lupa saling mengingatkan satu sama lain atas kondisi yang mungkin terjadi didepan selama pengarungan yang akan dilakukan, perspektif antisipatif dan perspektif exit wet. Dari sisi kondisi jalur sungai yang akan dilalui, sungai ini tergolong kategori unik, hampir sepanjang perjalanan dinding-dinding tebing di kiri-kanan yang mempunyai ketinggian rata-rata diatas 10 meter merupakan tandem setia menyatu dengan air, bentukan jeram-jeram yang tejadi tidak teratur serta arus besar di belokan-belakan sungai yang tak jarang banyak mengakibatkan lubang-lubang yang menganga di bawah ataupun diatas permukaan sungai yang dikenal dengan istilah undercut. Hanya di beberapa titik terdapat ketinggian sungai yang tidak terlalu jauh berbeda dengan tepiannya, exit strategy adalah satu kondisi yang agak sulit melihat medan sungai yang seperti itu.
Pengarungan pun dilanjutkan di tengah arus sungai yang begitu derasnya. Bentukan sungai yang terjadi berubah seiring dengan debet air sungai yang tinggi, berbeda sekali jeram-jeram di sungai ini jika dibandingkan dengan ketika debit air sungai normal.
“ Ambil kiri Mas..”, seru Diki tiba-tiba memerintahkan Mas untuk membantu posisi perahu.
Satu meter menjelang penurunan vertikal “dayung kuat “ perintah sang skipper menggema, diiringi dengan teriakan dayung kuat oleh semua awak perahu. Turunan-turunan sungai yang biasanya dapat di prediksi ketika debit air sungai normal sama sekali susah untuk diprediksi. Terkadang mereka tidak lagi mengenali lokasi-lokasi jeram yang selama ini telah cukup dikenal dengan baik. Scouting dilakukan per jeram, teknisnya ketika akan memasuki suatu jeram maka dilakukan pengamatan dan didiskusikan terlebih dahulu akhirnya diputuskan akan mengambil jalur pengarungan yang mana.
Setiap melewati satu jeram setiap itu juga perahu parkir untuk mengambil napas panjang dan perencanan memasuki jeram berikutnya. Terkadang saat beristirahat menarik nafas itu terlihat pemandangan bangkai-bangkai biantang yang terbawa arus dari arah hulu yang menjadi menu tambahan sambil menyeruput minuman yang mengandung vitamin C. Jujur saja semua merasakan situasi tegang, takut, asyik dan nikmat bercampur menjadi satu. Pertama kali dalam hidupnya Mas merasakan dasyatnya pengarungan sungai. Mungkin demikian juga yang lain.
“Dayung Kuat” instruksi yang sudah tak terhitung jumlahnya ketika itu, pikiran sadar berkata jikalau salah satu anggota tim ada yang terlempar keluar perahu kondisi seperti apa yang kan terjadi ataukah jikalau perahu terbalik di sungai Multi konsentrasi adalah satu kunci dari pengarungan ini, selain mengamati, menganalisa bentukan jeram yang akan dilalui, mendengarkan dengan cermat instruksi dari skipper juga memperhatikan sesama pendayung jikalau kestabilan dari tubuhnya terdorong keluar perahu.
Satu hal yang mungkin membantu adalah tumpukan barang yang tersusun rapi dibungkus jaring yang membuat perahu stabil susah untuk terbalik dikarenakan bebannya. Selain itu juga mereka diuntungkan dengan formasi pendayung pada saat itu dimana personil yang terlibat sudah seringkali melakukan kegiatan serupa sehingga tingkat pengertian antar pendayung boleh dikatakan bagus. Pengingatan sebisa mungkin tak jatuh keluar perahu seringkali mereka lakukan karena jika kondisi itu terjadi maka self rescue adalah modal utama untuk bisa selamat dari terjangan arus sungai. Tak jarang pendayung didepan melakukan pendayung bukan kearah bawah dikarenakan air sudah berada sejajar atau diatas dengan badan perahu.
Akhirnya perahu yang tiba juga di daerah jembatan besi Limbangan Garut, titik terakhir pengarungan sudah didepan mata artinya misi yang diemban akan segera berakhir. Perahu ditambatkan dan mereka berdoa atas perlindungan yang diberikan oleh-Nya selama pengarungan sungai disusul kemudian dengan mencoba melepaskan lelah di tepian sungai. Tak lama setelah beres-beres peralatan suara adzan jum’at berkumandang dari masjid terdekat sekitar sungai.
Selama perjalanan pulang ke Bandung tak berhenti Mas berfikir suasana yang dialami dalam mengarungi sungai Cimanuk kali ini, belum pernah sekalipun dalam hidupnya mengalami ketegangan dan kenikmatan yang luar biasa dan mungkin akan susah untuk mengulangnya kembali. Klimaks, kata-kata itulah yang pantas untuk mengungkapkan pengarungannya kali ini sepanjang jalur Leuwigoong dan Limbangan.