Imaji Heroisme Relawan Kemanusiaan

1934264_1177065800347_5742725_n

by Dodi Rokhdian

Tepat empat hari pasca gempa di sumatera barat saya tiba di padang. Menginap semalam di Padang, di rumah saudara seperhimpunan, besok paginya saya lanjutkan keKabupaten Padang Pariaman. Dilubuk Alung-lah, sebuah kenagariaan, kami tinggal dan berposko. Istirahat sekedarnya, briefing sebentar, lalu bergeraklah saya mencari lokasi yang sekiranya patut mendapatkan pertolongan.

Data tentang satu lokasi bencana adalah satu hal yang penting yang saya harus cari di tahap awal ini. Bantuan apa yang mesti dilakukan? jenis kebutuhan apa yang paling diperlukan? Siapa yang di prioritaskan? Banyak yang dipertanyakan, dan jawabannya ada di data awal di tingkat posko yang komprehensif. Sayang apa yang saya inginkan itu tak tersedia di posko setiap desa atau jorong, gempa ini membuat semua orang sibuk menyamankan diri dan berusaha merecovery kehidupan.

 

Data akurat terabaikan. Saya memahami ketaksiapan data yang tersaji karena kondisi darurat dan serba tak pasti. Di jalan saat pulang menuju posko, lalu lalang relawan berseliweran dengan beragam bendera dan bermacam niat, untuk datang dan menolong. Kepedulian nampak di hadapan saya, betapa gagahnya para relawan itu, kepalanya mendongak tegap, dimatanya terlihat aura kemanusiaan. Merekalah para penolong, malaikat yang diharapkan.

Malam itu personil posko bertambah dengan kedatangan para relawan, begitupun malam-malam berikutnya. Sampai saya berkumpul dengan mereka untuk melakukan kordinasi, lalu saya tanyakan spesifikasi tujuan mereka datang dan apa yang menjadi kendala mereka melakukan tugas kemanusiaannya.

Seorang relawan SAR,’niat saya evakuasi dan pencarian korban bang,” ia tuturkan dengan penuh kegagahan.

Seorang Paramedik,’kalau kami mau ngobatin korban bang, bisa tahu dimana saja korban terbanyak?” katanya dengan tulusnya.

Seorang aktivis agama,”kalau saya akan memberikan bantuan rohani, biar mereka menyadari hikmah dibalik bencana ini, dan tak jadi kufur, ada ada data pengungsi yang membutuhkan layanan tersebut bang?” katanya seolah-olah. Seolah-olah dia berahlak mulia, seolah-olah ‘telah timbul’ kekufuran diantara pengungsi.

Seorang aktivis NGO, ‘kalau saya mau distribusi bantuan bang, dimana data yang bisa saya akses?” kata beliau dengan penuh keikhlasan.

Mereka itu datang dengan niat baik, namun sayang, semuanya mengeluhkan ‘kesiapan data’ yang amburadul di tingkat posko di lokasi-lokasi kejadian. “Padahal kan seharusnya mereka tahu bahwa kami butuh data, biar tepat sasaran bantuan apapun pada mereka, ini masalah bang, kok bisa yah begitu?” ujar relawan-relawan itu menyalahkan ‘kesiapan amburadul para pengurus posko’

“Ada saran bang? Apa yang akan tim abang lakukan” tanya seseorang di acara kordinasi antar pejuang kemanusiaan tersebut.

Saya merenung, membayangkan imaji mereka datang, mencoba memahami kerangka berpikir heroisme mereka. Di imaji relawan selama ini bentuk bantuan pasca bencana hanya berkutat pada persoalan evakuasi, pencarian korban, distribusi, penanganan medik, atau seperti keinginan pembenahan ahlak pengungsi yang amat menghakimi.

Siapa mereka? Seberapa tahan mereka bekerja di tengah kondisi darurat seperti ini? Seberapa kekuatan mereka untuk melakukan itu? Berapa banyak mereka mempunyai kekuatan logistik dan pendanaan? Mereka ini bukan di sokong dana besar dari lembaga donor yang besar, pernahkah mereka berpikir panjang tentang ‘sedikit kerja’ namun berefek panjang buat korban? Sementara itu saya diinformasikan seorang kawan bahwa relawan-relawan bermodal heroisme itu banyak terlantar di Satkorlak karena tak paham situasi lapangan dan tak siap menghadapi kondisi riil. Modal tenaga saja tak cukup, karena untuk evakuasi dan pencarian korban di tanah minang ini butuh teknologi dan alat berat, bukan hanya modal tenaga dan semangat.

Sayapun kemudian mengutarakan apa yang terbersit, dan mengutarak niatan tim kami. Ini berawal dari realitas lapangan di tingkat lokasi posko bencana : tentang ketaksiapan data dan sibuknya para korban yang selamat dalam recovery kehidupannya.

Asumsinya akan ada banyak lembaga donor dan para pihak yang akan membantu dilokasi bencana, dan lembaga tersebut datang dengan beragam fokus dan beragam bidang kerja. Donor yang fokus ke anak butuh data tentang ‘jumlah dan kebutuhan anak ‘, yang fokus ke perempuan rentan akan butuh data keadaan dan jumlah ibu hamil,lansia,singgle parent, dan sebagainya, sementara donor yang akan membangun rumah butuh data akurat tentang jumlah rumah, posisi, dan jenis kerusakan. Begitupun donor yang peduli kesehatan, mereka akan butuh data akurat tentang jumlah korban dan kondisi kesehatan. Data itu tak siap tersaji, data itu terabaikan pengungsi.

Esoknya saya sebarkan tim dibantu relawan Palawa Unpad dengan bekal laptop, atk, dan printer,serta kamera digital. Tugasnya adalah asistensi warga dan bantuan pengolahan data agar bisa tersaji disetiap posko dengan akurat dan komprehensif. Mereka live in selama beberapa hari, menggarap satu lokasi, lalu berpindah ke lokasi lain. Sambil itu mereka ditugaskan mengorganisir posko untuk tahu ‘jaringan pemberi bantuan’ serta tahu bagaimana mereka mengikuti proseduralnya.

Jangan salahkan atau kita hakimi, bila di hari kelima, korban gempa di sepanjang Lubuk Alung ke Pariaman kota berbaris seperti ‘mengemis-ngemis’ meminta uang sepanjang jalan, dengan kotak-kotak bertuliskan mohon bantuan. Atau ketika kita mendengar kabar bahwa pengungsi menjarah truk-truk bantuan di sepanjang jalan karena alasan bantuan tak kunjung datang. Pengungsi butuh bantuan sesegera mungkin, sementara para pemberi bantuan butuh keakuratan dan spesifikasi data yang lengkap. Jangan pernah salahkan karena sebagian besar pengungsi di posko-posko pengungsian tak memahami bagaimana prosedur yang benar dan tak paham bagaimana menyiapkan diri sesuai dengan prosedural pihak pemberi bantuan.

Dan tugas kita lah –relawan-relawan kemanusiaan – membantu ‘infrastruktur data dan pengorganisasian posko’ tersebut agar kemampuan kita yang terbatas mampu meninggalkan ‘jejak’ yang bisa bermanfaat secara berkelanjutan bagi rekonstruksi para korban. Buanglah imaji heroisme itu dan marilah berfikir visioner untuk keberlanjutan.

 

-dodi rokhdian –Litbang Sokola dan alumni Palawa Unpad