Sebongkah Batu di Bukit Penyesalan

bukit penyesalanby Gatot Cahyanto

Kondisi pendakian di jalur Sembalun sedang panas-panasnya. Matahari bulan Juli terik membakar di trek Bukit Penyesalan, semua beringsut pelan-pelan mencoba mengefisienkan langkah-langkah kaki mereka.  Tahun 1992 trek Rinjani masihlah sepi, tidak seperti sekarang. Tim pengembaraan yang terdiri dari Dodi, Arief, Wawan peking, Butet, Nina, Flora, , Gatot dan Acoy sedang berupaya menggapai puncak 3.767 meter dpl alias puncak Rinjani.

Peluh mengucur deras, ransel 80 liter yang dibawa Gatot terasa menyiksa. Salah mawa ransel badag kieu, pikir Gatot, jadi we kabagean mawa logistik tim. Terpikir olehnya membagi beberapa barang tim dengan rekannya. Ia menoleh ke Wawan Peking.

“King  nitiplah lentera ,  ransel urang beurat teuing,”  pinta Gatot kepada Wawan Peking.

“Embung, sorangan-sorangan we,” sahut Peking enggan membantu.

“Alah pan ieu mah dipake bareng, urang geus mawa ti Sembalun.. giliran atuh,”  bujuk Gatot.

“Embung ah..ka batur we,” Peking tak mau tahu .

“Pan sakeudeung deui ge nepi Plawangan barinage..” Gatot masih berusaha membujuk. Namun Peking malah bergegas melangkah ke depan, meninggalkan Gatot.

Meni kitu nya, pikir Gatot, awas digawean ku urang.

“Dod, meni embung  mantuan nya si Peking..” ujanya kepada Dodi.

“Heu-euh..urang gawean we..” Dodi sepemikiran rupanya.

Saat beristirahat di pepohonan pinus, Wawan Peking lengah terbuai angin yang berhembus diantara daun-daun cemara. Kesempatan ini tak disia-siakan Gatot dan Dodi. Mereka memasukkan sebongkah batu ke dalam ranselnya. Lumayan sekitar 2 kilogram.

Perjalanan rombongan dilanjutkan menuju Plawangan, Peking tak menyadari tambahan beban di ranselnya. Pada dasarnya ia memang kuat. Sebagai pesepeda yang biasa menempuh jarak Bandung-Bogor, sebenarnya kekuatannya diatas yang lain.

Menjelang sore tibalah rombongan pengembaraan itu di Plawangan.  Setelah semuanya sampai,tim  bersiap mendirikan base camp. Besok dini hari barulah rencananya meretas jalan menuju puncak.

Peking yang sedang membongkar ransel terkesiap melihat sebongkah batu di dalam ranselnya. Ia kesal bukan main.

“Anjir.. ulah kieu atuh cara na..ngagawekeun ka batur teh..!”

Gatot dan Dodi saling berpandangan, lalu cekikikan.

“Maneh nya Tot nu ngasupkeun batu,” tuduh Peking berapi-api.

Gatot hanya mengangkat bahu.

“Maneh sia Dod  nya,” Peking belum hilang kekesalannya.

Dodi juga mengangkat bahu. Yang lain baru tahu ada insiden, lalu berdatangan.

“Aya naon..aya naon..” tanya mereka. Namun setelah  tahu, semua hanya tertawa cekikian juga. Tinggal Wawan Peking yang uring-uringan malam itu.