Antara Dipati Ukur  dan Jatinangor

 

1917633_118042444886389_7421122_nKawasan Jatinangor (754 meter dpl) merupakan bekas lahan perkebunan karet di kabupaten Sumedang yang berubah fungsi menjadi kawasan pendidikan tinggi. Pertama mengenal kampus Jatinangor saat opspek mahasiswa  sebagian bersumpah tak akan datang lagi ke kampus yang gersang dan panas ini bila tak terpaksa. Pantas saja mahasiswa baru kala itu mendapat tugas menanam bibit pohon karena gersangnya minta ampun. Panas yang terik semakin terasa menyiksa seolah-olah sedang berada disebuah lahan kritis. Damai Tapi Gersang, seperti lagu karya Adjie Bandi.

Namun satu persatu fakultas kemudian dipindahkan ke bukit-bukit gersang itu, mulai dari Fakultas Sastra, FIKOM, FISIP dan seterusnya. Di fakultas-fakultas bedol desa itulah banyak legiuner petualangan kebanyakan berasal. Riuhlah ruangan Sekretariat dengan gerutuan mereka yang harus bedol desa kesana.

Aing hayang ngabom eta kampus,” gerutu Bais, mahasiswa Fakultas Sastra.

Jadi teu semangat kuliah euy,” kata Akuy geram, mahasiswa FIKOM.

Kepindahan banyak fakultas ke Jatinangor mulai menjadikan kampus itu memiliki ikatan emosi bagi mereka, walau tak pernah ada kegiatan perhimpunan disana. Karena kerap bolak-balik kesana, yang tak kuliah di Jatinangor pun lama-kelamaan merasa familiar juga dengan kampus berlatar belakang gunung Manglayang itu. Saat pelantikan diklat tahun 1994 untuk pertamakalinya dilangsungkan di kampus Jatinangor, itulah momen yang secara simbolik menandakan bahwa pasukan biru langit dengan syal kuning masuk ke kampus baru. Para siswa kala itu memulai diklat dari kampus Dipati Ukur, setelah sempat ke Pawon dan Citarum lalu didropp sekitar Cipunagara dan menyelesaikannya di Jatinangor. Sekali bendera perhimpunan berkibar di kampus baru, mereka tak akan mundur lagi -walau tak punya sekretariat disana.

Walau Sekretariat kemudian baru pindah ke Jatinangor tahun 2001 namun sejak jalur longmarch Bukittunggul – Manglayang itu dipakai, praktis sejak saat itu kedua kampus memiliki ikatan batin. Walau tak setiap diklat  jalur long march itu digunakan, namun setiap anggota pastinya pernah melalui jalur yang berliku-liku dan naik turun gunung sepanjang “jalan belakang” menuju Jatinangor ini. Jalur Lembang menuju Jatinangor merupakan sebuah way of life yang menghubungkan kampus di Bandung dengan kampus di Jatinangor. Sebuah jalur klasik yang rasanya wajib diketahui dan dimaknai.

Pada diklat 2007 dan 2012 jalur itu kembali digunakan dimana rombongan grand army melakukan long march dari Situ Lembang menuju Kiara Payung, lalu turun ke kampus Jatinangor.  Akhirnya selesai sudah perjalanan berhari-hari para siswa dan pelatih, kembali ke kehidupan kampus. Para old crack sempat datang ke beberapa lokasi diklat di Situ Lembang, Bukittunggul, dan Kiara Payung. Demikian pula kala menghadiri upacara pelantikan yang selalu haru biru di kampus Jatinangor.

Banyak yang berubah, tentu saja, karena diklat bukanlah sistem yang statis. Romantisme pada hal-hal di masa lalu tak berarti kita mesti terpaku bahwa sesuatu akan terlaksana seperti dulu, justru harus ada perubahan yang lebih baik. Namun memelihara jalur long march itu sebagai sebuah heritage dari generasi terdahulu menurut hemat kami tetaplah penting karena itu bukan semata-mata jalan setapak namun merupakan lebih merupakan sebuah jalan sejarah, sebuah cerita yang sarat ikatan emosi. Suatu hari kita akan menyadari bahwa diantara tempat-tempat itu terdapat momen yang mengiringi pendewasaan masing-masing.

Hanya saja ada sedikit rasa masygul saat kini kampus Dipati Ukur pernah tak lagi dirangkul dalam setiap diklat. Mungkin wajar karena setelah Sekretariat pindah ke Jatinangor, semua kegiatan juga terpusat disana. Namun dulu… saat kampus Jatinangor masih berupa bukit-bukit gersang nan tandus, dan Sekretariat Palawa masih kokoh berdiri di Dipati Ukur, para aktifisnya tetap merangkul Jatinangor sebagai sebuah simbol, walau sejujurnya tak pernah ada kegiatan perhimpunan disana. Mencoba visioner walau tak paham mengapa melakukannya, hanya merasa harus saja.

Simbol-simbol  bagaimanapun diperlukan karena manusia kerap berusaha memahami problema hidupnya melalui simbol. Bagi sebagian orang, walau telah merasa nyaman di sekretariat Jatinangor namun tanah tumpah darah itu tetaplah sebuah sudut di kampus Dipati Ukur. Saat darah mereka menetes dari luka yang menganga dan tercecer di lapangan bisu. First blood…. Darah yang menetes itu segera terhapus guyuran hujan, namun abadi di sanubari.