Romantisme Diklat! Macam Betul Bro

339006_2149554271564_7033132_o

by Dodi Rokhdian

Bayangkan, saat kita beranjak tua dan uzur, tiba-tiba hidupmu terasa hampa dan kamu merasa belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidupmu.

Kalimat itu saya dapatkan di saat lelah menyergap dalam genangan peluh sehabis pendakian. Dalam satu jeda istirahat untuk melanjutkan perjalanan mencapai lokasi pekerjaan rekan kerja dan sahabat saya –Butet Manurung (PLW 24382069 KP)– melontarkan kalimat tersebut ditengah kelebatan hutan di Bukit Duabelas, Jambi.

Menghargai hidup? Pengalaman saya tentang menghargai hidup lalu bagaimana bertahan dengan ancur-ancuran dalam kondisi terburuk didapat dari ganasnya diklat. Diklatdas IX Palawa UNPAD. menghasilkan 21 orang dalam satu klan nama angkatan: Kawah Putih (KP), PLW 004 KP itulah nama saya kala itu. Itu 15 tahun yang lalu, masa yang panjang, dan kini ke 21 orang saudaraku tersebut tersebar diberbagai tempat dan sibuk dengan profesi yang digelutinya.

Tujuh hari Pra Medan Operasi (MO), 21 hari MO, beribu push up dan jongkok berdiri, duit terkuras, muka bonyok digaplok, stamina ngaplek di tambling, kelaparan, kepanasan, kehausan, kaki lecet, direndahkan martabat, dan beragam penderitaan oleh medan terjal yang radikal adalah ongkos-ongkos yang harus kami bayar untuk ‘hanya’ mendapatkan syal kuning. Seuntai kain segi tiga warna kuning. Di pasar harganya tak lebih dari ceban, namun menjadi palawa kain tersebut teramat mahal harga yang harus kami bayar. Romantisme diklat lantas menjadi memori yang tak pernah bisa saya lupakan. Life goes on, sampailah dimasa saya tak aktif lagi, ketika kerja menyita rutinitas, dan pikiran ngawur kemudian muncul untuk mempertanyakan. Patutkah ‘kekejaman’ diklat itu dikenang? Bagaimana setiap orang memaknainya?

Beberapa alumni Palawa memang berhasil merangkai ‘tautan’ memori diklatdas dan pengalaman selama menggeluti kepencintaalaman di Palawa dengan pekerjaan yang dimimpikannya. Pekerjaan membawa mereka menjelajah dan melakukan perjalanan. Alumni lainya secara tak langsung mampu mengambil ‘hikmah’ dari keganasan masa lalu tersebut dengan pilihan kerja ditataran kantoran. Lalu yang lainnya, mumgkin menyesali bahkan dikecewakan oleh ‘memori kolektif’ tersebut karena tak berdampak signifikan dengan kehidupan dirinya. Dan untuk yang terakhir ini, saya hanya bisa mendoakan dan memohon maaf atas kekecewaannya menjadi Palawa, khususnya untuk tiga angkatan dimana saya menjadi DANOPS saat mereka mengikuti diklatdas.

Saya dan rekan beruntung menemukan pekerjaan yang mengharuskan ‘melakukan perjalanan. Sejak 1999 sampai kini, ada 4 pulau di Indonesia, dan 1000 an murid sekolah alternatif yang kami bangun. Diterpa hujan, tersesat, malaria, disengat kelabang, dikejar beruang, di sweeping aparat yang mencari GAM, atau menembus gulungan ombak, ransel sarat beban, lalu tekanan-tekanan pekerjaan. Saya selalu mengenang diklatdas. Selalu saja, masa diklatdas menjadi medium perenungan positif untuk tidak cengeng dengan tekanan. “ Hikss.. Tegar Tuan ! ”

Sebaik-baiknya palawa setidaknya sebuah seleksi terhadap tatanan empirik. Menjadi Palawa lalu romantisme diklat seharusnya menjadi seperangkat nilai-nilai ‘mendidik’ yang mampu diterapkan anggotanya dalam keseharian dan berguna untuk menjawab persoalan nyata ketika menjalani kehidupan sebenarnya. Ciee..serius nih yee.

Yang pasti ini subyektif sekali, semua punya cara pandang berbeda dalam memaknai hikmah dari romantisme itu. Ada yang mampu mengambil pelajaran darinya dan ada yang kecewa olehnya. Romantisme tak semerbak wangi bunga di taman. Ck..ck…ck, Romantisme ? Macam Betul betul Bro!