Bahasa Komunal

1934264_1168508266414_1746216_n

by Bayu Ismayudi

Menanggapi tulisan  Dodi (lihat Once Upon A Time in Longmarch: Mari Berkokok Bersama ), saya berpandangan klo pada waktu itu setiap polah, tingkah & laku yg terjadi dalam Diklatdas merupakan sebuah bentuk penghiburan diri sebagai sebuah cara mencari “kelapangan” diantara “kesempitan”.

Karena dengan cara seperti itulah kami merasa bisa saling menghibur diri, kami pada waktu itu tidak menggunakan kata “ayo saudaraku, kamu kuat, kamu bisa” tidak! tapi bahasa kami adalah bahasa ‘ledekkan’ yg justru malah makin memperkuat ikatan emosional di antara kami.

Saya ingat waktu wajah saudaraku Wawan Barang memar2 & bengkak2 akibat gamparan pelatih, kata2 yg keluar dari rekan yg lain waktu itu adalah ” Wan, beungeut maneh jiga Usro” sambil ketawa ketiwi. Tapi hal itu tidak membuat saudaraku Wawan Barang tersinggung atau marah atau malah berkecil hati, tapi justru guyonan seperti itu yg membuat kita merasa semakin akrab.Atau saat saya waktu itu digaplok ‘bolak-balik’ oleh kang Budi Gambrut sebagai Dan Tatib karena tanda siswa saya hilang, rekan-rekan yang lain berbisik…”Bay, maneh ngimpi modol nya?” hahahaha, saya waktu itu tidak tersinggung atau berkecil hati, tapi saya menganggap itu sebagai bentuk ‘perhatian’ saudara2ku..Bagi saya kekonyolan2 itu merupakan ‘kebahagiaan’ tersendiri, karena semua itu lah yg membuat saya bertahan diantara ribuan tekanan diklat. Itulah ‘bahasa’ komunal yang tebentuk dari perbedaan karakter yang menjadi perekat dari perbedaan2 itu sendiri…