Bersimpuh di Segara Wedhi

Erupsi Gunung Bromo 2010

Mencintai alam adalah urusan yang timbal balik. Semakin banyak engkau memberi makin banyak kau dapatkan, makin banyak kau terima makin banyak yang ingin kau beri.

 

by Bayu Bhar

Kabut tebal serta cuaca muram menemani kami sepanjang hari di desa Wonokitri, yang terletak bersebelahan dengan desa Tosari. Namun dingin yang genit menggigit tak menghalangi kami  bertiga -saya, Dodi dan Gatot- untuk menjalani kebiasaan untuk segera berkeliling di sekitar tempat menginap. Hal itu bagai sebuah insting yang terpelihara sejak dahulu untuk memahami medan sekitar. Di tengah kesenyapan dan rasa basah saya merasakan sebuah nyala yang hangat dari adrenalin yang memercik.

Setelah berkeliling beberapa lama barulah kami menyadari perbedaan desa ini dengan sebelahnya. Di Wonokitri semua penduduknya merupakan warga asli yang hidup turun temurun dan semua beragama Hindu, sementara di Tosari telah ada percampuran dengan pendatang. Tak heran disini berbagai gapura bernuasa Hindu dan beragam persembahan terlihat di setiap sudut.

Kepergian ke Taman Nasional  Bromo Tengger Semeru kali ini merupakan yang ketiga kalinya dan memang ini merupakan salah satu lokasi yang tak pernah dapat saya lewatkan begitu saja dalam benak. .  Lautan pasir yang disebut  Segara Wedi, gunung-gunung kecil didalamnya, dan gunung Semeru yang menjulang tingi merupakan bentangan alam yang selalu menimbulkan sensasi yang mengaduk emosi siapapun yang menyaksikannya.

Hanya sedikit tempat  yang selalu ingin saya kunjungi kembali hingga berapa kalipun yaitu Ujungkulon, Rinjani dan Bromo Tengger Semeru. Selain alamnya yang indah akan terlalu banyak memori disana yang mengiringi pendewasaan dari saat masih belia mulai mencoba-coba bertualang  hingga kemudian cukup banyak tahu tentang dunia petualangan. Getar – getar persahabatan yang mengiringinya itulah yang membuat memori ini bertahan entah hingga kapan.  Tak terbayangkan oleh saya memori yang dikenang oleh rekan perjalanan So Hok Gie, Idhan Lubis dan pendaki lainnya yang roboh ke haribaan alam  pegunungan disini.

Taman Nasional BromoTengger Semeru seluas lebih dari 50.000 ha merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 -3.676 meter dpl. Kawasan ini secara administratif terletak dalam empat wilayah yaitu Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Kaldera Tengger seluas 10 km persegi merupakan lautan pasir yang memiliki banyak gunung kecil seperti Gunung Bromo, Gunung Batok, Gunung Kursi, Gunung Pananjakan, Gunung Widodaren dan Gunung Watangan. Kata Tengger sendiri konon berasal dari pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger yang dahulu membangun pemukiman dan merupakan penguasa kasan pegunungan ini

Rute yang populer untuk mendaki gunung Semeru biasanya melalui Tumpang (Malang) sementara untuk ke Bromo lebih populer via Tosari (Pasuruan) dan Ngadas (Probolinggo).   Kali ini kami mengunjungi TN Bromo Tengger Semeru dengan rute tujuan yang berbeda, bila biasanya puncak Mahameru  yang menjadi tujuan maka kini lereng Bromo lah yang menjadi perhatian. Bila sebelumnyanya perjalanan penuh heroisme menyusuri lereng pasir Semeru, kini hanyalah hiking yang santai melihat kepulan asap Bromo yang mengepul tak biasanya.

Itulah juga yang mendorong kami kembali bersimpuh ke alam pegunungan TN Bromo Tengger Semeru, yaitu erupsi Bromo yang tak normal sehingga menyemburkan asap hingga ke Jember. Entah kenapa semburan erupsi debu itu bagai bisikan-bisikan halus yang sampai ke rumah kami masing-masing. Seakan sebuah ajakan untuk bermain yak tak pernah dileatkan oleh sekumpulan anak kecil. Mereka pun hanya menuruti instingnya untuk pergi menuju tempat bermain.

Di tengah kekhawatiran erupsi yang bias membahayakan, sebuah keyakinan bahwa semua akan aman-aman saja terasa di hati setiap orang. Saya pernah berjarak hanya beberapa puluh meter dari letusan periodik Gunung Semeru di puncaknya, sehingga erupsi Bromo rasanya takkan lebih dari gejolak alam biasa.

Namun saya dapat menangkap rasa khawatir yang berlebih dari aparat, masyarakat dan media. Namun anehnya justru penduduk di  desa-desa sekitar Bromo tak terlalu khawatir dan menganggap biasa gejala alam itu. Sama seperti ketenangan yang kami rasakan kala awan besar meletup dari kawah Bromo. Walau berada di sekitar Pura Agung di lautan pasir yang tak jauh dari lereng Bromo, saya tak merasa khawatir. Apalagi penduduk yang menyertai kami. Mereka dengan tenang mengisap rokok kreteknya di tengah pagi yang dingin itu.

Sebagai orang yang sering menyambangi pegunungan, saya ingin mencoba memahami ikatan yang terjadi antara orang-orang ini dengan gunung yang mereka tinggali. Mengapa mereka tak pernah khawatir pada perkembangan vulkanik yang terjadi di sekitar gunung? Betapa sulitnya menyadarkan penduduk di kaki gunung berapi terlihat dalam letusan Gunung Merapi hingga ratusan orang menjadi korban terpanggang wedhus gembel.

Jelas mereka bukan malas dan sama sekali tidak lemah. Warga yang tua renta pun masih sanggup memikul beban lebih berat dengan jarak tempuh yang lebih jauh setiap harinya dibanding orang paling sehat di kota besar. Mereka hanya percaya bahwa gunung tak menyakiti kehidupan. Tak seperti warga kota yang melihat gunung berapi sebagai ancaman, mereka melihatnya sebagai teman kehidupan.