Bagi mereka yang terlibat sebagai panitia, diklat kali ini merupakan sebuah terobosan baru dalam kurikulum diklat. Bahkan sejak lokakarya pun setiap orang dapat mengira-ngira bahwa akan kembali muncul format diklat yang baru. Dua kandidat Danlat dalam lokakarya sama sekali tak merasa terikat dengan format diklat yang lalu-lalu. Bonk yang visioner dan Bar yang humanis, mengisyaratkan bahwa diklat mendatang akan bergerak ke arah yang baru.
Terobosan yang diambil oleh Bonk yang kemudian terpilih menjadi Danlat adalah membuat sekolah-sekolah menjelang medan operasi. Maka dibentuklah Sekolah Arung Jeram (SAJ) yang dikomandani Adjat, Sekolah Caving yang dikomandani Flora dan Sekolah Pendaki Gunung (SPG) yang dikomandani Dodi. Uniknya, sekolah-sekolah tersebut terbuka bagi umum tak hanya bagi calon siswa.
SAJ mengambil tempat di aliran sungai Citarum yaitu Bantar Caringin dan Rajamandala, SPG menempati base camp di Situ Lembang sementara caving di Buniayu. Tak pelak lagi bahwa siswa menghadapi masa yang panjang hingga selesainya proses diklat, yaitu medan operasi di Bukittunggul dan Ranca Upas. Medan operasi berjalan selama 11 hari dengan materi long march dan memperdalam gunung hutan.
Minggu pertama medan operasi di Bandung Utara merupakan masa bulan madu bagi siswa karena cuaca yang cerah, namun minggu kedua di Bandung Selatan benar-benar neraka. Hujan terus mengguyur di Ranca Upas seakan matahari enggan menyapa siswa. Kondisi yang basah benar-benar membuat down karena rawa-rawa di Ranca Upas sedalam pinggang menjadi santapan sehari-hari. Tak heran bila nama angkatannya adalah Mapak Rawa.
Perjalanan panjang menyusuri rawa-rawa yang seolah tak berkesudahan benar-benar memberi pukulan mental yang dahsyat bagi peserta hingga setiap orang mencapai batasan-batasannya. Hanya dengan saling menyemangati mereka bertahan melalui semua itu.
“Saya sedih selalu ketinggalan banyak langkah, tidak pernah bisa menyamai kekuatan yang lain. Frustasi karena tidak pernah bisa sekuat teman-teman semua, berat sekali dan rasanya sakit hati sekali,” ujar Nhoer mengenang masa-masa itu.
“Namun support yang paling besar datang dari hati dan jiwa kita sendiri dan juga yang paling berperan di lapangan dulu adalah teman-teman seangkatan saya, Andri, Diki, Bobby, Uloh dan Boas,” ia melanjutkan.
Hari-hari medan operasi diklat Mapak Rawa memang bukan yang terpanjang, namun masa sejak siswa terlibat di lapangan sungguh luar bisa : sekitar empat bulan! Hanya orang-orang terkuat yang sanggup bertahan selama itu. Dari sekitar 40-an orang siswa di awal, pada akhirnya bertahan enam orang hingga pelantikan. The last man standing.
“Hari-hari itu telah mengubahku, dari seorang yang manja menjadi seorang yang tangguh, gak pernah takut akan apapun., gak pernah pesimis menghadapi semua rintangan, menjadi seorang yang berani bertanggungjawab. Sebelas hari itu menjadi cerita seumur hidup buat kami, dan ketika aku bertemu dengan saudaraku Bobby, Diki, Andri, Boas,dan Nur…rasanya nggak akan habis tawa dan air mata,” kenang Uloh sambil terharu.
Namun lamanya masa diklat juga menjadikan angkatan Mapak Rawa mendapat materi lapangan yang paling canggih dibanding diklat angkatan manapun hingga saat ini. Mereka menyerap materi tak saja dari seniornya di Palawa Unpad namun juga dari praktisi petualangan papan atas di Bandung. Sejarah membuktikan angkatan MR mampu mengusung nama besar perhimpunan untuk berjalan tegak di pentas dunia petualangan. Pertaruhan Bonk, sang Danlat yang visioner, dalam merombak kurikulum diklat tidak pernah sia-sia.