Catatan Harian Ekspedisi Sulawesi 94 : Menempuh Rimba Mendaki Gunung Bertemu Nikke Ardilla

dusunKarangan di kaki gunung Latimojongby Dodi Rokhdian

Desa Karangan nampak sepi dan gelap saat kami tiba sehabis berjalan seharian mendaki perbukitan dari desa Baraka dibawah sana. Inilah peradaban terakhir menuju atap Sulawesi. Hanya pelita-pelita kecil yang menerobos dibalik dinding bilik kayu rumah-rumah warga yang menandai kehidupannya, serta hadangan seseorang lelaki dewasa di sebuah ruas jalan setapak. “Mendaki gunung? Mari-mari kami antar” Katanya mengejutkan saya, “Nanti dulu pak, besok kami baru mendaki, saya harus menginap dulu semalam,” Ujar saya resah dengan ajakannya.

Resah karena kami baru saja berjalan jauh seharian dari pagi sampai maghrib. Dia tak mengubris meski saya yakin dia tak tuli tuhan (pinjam syair iwan fals). Ia langsung menuntun saya menuju suatu tempat ke arah yang tak bisa saya ketahui. “Mendaki gunung, mari-mari”
Rupanya saya salah duga, ia membawa saya ke rumah Pak RT. Di rumah itu sudah ada beberapa rekan yang sudah tiba duluan. “Mari naik, itu sudah ada kawan yang lain” kata pak RT menyambut saya di rumahnya yang berstruktur panggung.

Meski rumahnya panggung, rumah pak RT ini tak dipergunakan untuk konser sebuah Band. Disebut panggung karena rumah tersebut bertiang tinggi, jenis rumah ini amat umum ditemukan di belahan pedesaan manapun di negeri ini. Tiang tinggi berfungsi menjaga sirkulasi angin, alat perlindungan dari binatang buas dan banjir. Dimana dibawahnya amat fungsional untuk menyimpan ternak ataupun barang-barang lainnya.

Di sanalah kami ditampung dan menginap, inilah strategi pendekatan stake holder, sekali merengkuh dayung, nginep, ngopi, dan makan terlampaui. Wajah semua rekan nampak cerah dibuatnya, khususnya oleh kudapan dan kopi hangat yang diseruputnya. Mantap benar hari itu, setelah kelelahan seharian, kami disambut tulus oleh Pak RT beserta keluarganya. Ada Barbar, Wanbar, Akuy, Kupil, Babeh Ajat, Tamsur sang pendamping dari Korpala Unhas, kemudian disusul Ary Brenjon yang tiba belakangan dengan muka yang gak mau (kecapean)
”Anjir sugan teh maraneh langsung ka gunung, urang reuwas diajak si akang nu nganter tadi, manehna ngomong mendaki gunung, mari-mari, mendaki gunung” Kata Ary dengan wajah yang tiba-tiba riang gembira meski tak berdendang ketika menatap kudapan dan kopi hangat manis kental terhidang. “Ieu kopi nu saha, bisa di rojer?” Kata ary sambil culang-cileung terus tangannya ngarawu kudapan dan nyuruput kopi haneut.

Malam itu kami mengobrol dengan tuan rumah, ada Pak RT, ibu RT, si akang yang bilang mari mendaki, serta Nikke Ardilla yang hanya bisa menempel di dinding sebagai poster. “Itu bapak tahu gambar siapa?” Kata Wanbar menunjuk poster. “Penyanyi Nikke Ardilla” Mantap di jawab. “Nah dia orang Bandung, sama seperti kami” Kata Wanbar seolah-olah. Seolah apa? Seolah Wanbar kenal dekat dengannya.“Oh gitu, dari Bandung yah,” kata Pak RT yang juga sama seolah-olah, namun seolah-olahnya pak RT ini tak saya ketahui apa maksudnya. Setelah itu kami makan malam dengan lauk standar lapangan, lalu brieffing menentukan jadwal besok,”okey, isuk subuh hudang, siap-siap, sarapan, jam genep langsung cabut” itulah kesepakannya.

Subuh itu hujan turun deras sekali, angin menderu, dingin menusuk, sleeping bag memeluk kami erat sekali, seakan-akan tak rela kami terbangun sigap. Saya lirik jam tangan, oh jam setengah 6, apa yang terjadi? Saya masuk lebih dalam ke sleeping bag, sambil melirik yang lain. Ah semua sama saja, mereka masuk lebih dalam ke kantong tidur masing-masing. “serius ieu teh rek indit jam 6?” Kata Wanbar memprovok. “Tiris euy, mending sare deui” celetuk nu lain. Hari itu memang kami tak mesti menepati janji briefing semalam, dan tak perlu sigap seperti di diklat, toh tak ada hukumannya untuk lalai janji tersebut.

Dan terbangunlah kami semua jam sembilan, diluar kabut tebal membuat gunung rantekombola tak kelihatan wujudnya. Setelah melawan godaan setan kemalasan, setelah sarapan dan packing-packing, berangkatlah kami dengan doa setulus-tulusnya karena mendengar kisah seram gunung tersebut dari pak RT. Katanya banyak penduduk yang hilang di sana, makanya Pak RT tak mau ngawanin kami menjadi guide. ”Ah Pak RT kurang offrud lah,” kata saya dalam hati, tapi untung dia nolak, karena ini ekspedisi perintisan jalur, bukan pendakian babaduyan mengikuti jalan sang guide sambil cihuy-cihuyan.

Pergerakan kami dibantu kompas dan peta, route finding ditentukan dengan man to man system, diselingi pencarian punggungan berdasarkan arahan kompas. Jalan terus mendaki, sampai tibalah di sebuah ketinggian,”Stop-stop, kita bermalam di sini, stop-stop,” Teriak Tamsur sang pendamping korpala unhas sambil terburu-buru membuka celana lapangannya. Berebet-berebet dia berlari ke semak, dan “brottt, broottt” terdengar dengan kerasnya.
Rupanya perintah berhenti itu karena Tamsur sakit perut, “Ah sugan teh naon, alus atuh, cing mencret sering-sering weh” Celetuk Wanbar yang sigap membuka tenda. Tarpak (datar ngabivak) adalah teknik paling dikuasai wanbar ketika itu. “Apa artinya Wan?” Kata Tamsur sehabis buang hajat karena ia tak mengerti bahasa sunda yang Wanbar ucapkan, “Semoga cepat sembuh Sur” Kata Wanbar bermain peran, “Oh makasih Wan”

Singkat waktu Tamsur esoknya sembuh, dan perjalanan pun berlangsung lancar dan meleset. Puncak di dapat namun setelah dihitung-hitung di peta, rupanya kami melenceng ke puncak Rante Mario. “Baelah, da nu di bandung mah moal nyaho” Kata seseorang yang tak mau disebutkan identitasnya.

Rante Mario adalah puncak tertinggi di pegunungan Rante Kombola, di sana ada beberapa puncak dan puncak Rante Kombola salah satunya yang menjadi target di Bandung. Karena di peta Rante Mario yang tertinggi maka melencengnya rintisan kami ini dianggap berkah karena itulah atap Sulawes , lalu kami putuskan ekspedisi tercapai.

Dari puncak kami turun dan bermalam lagi di sekitar lembah antara dua puncak tersebut. Besoknya kami pun turun secepat-cepatnya karena alasan logistik yang menipis, turun serabutan seperti bagong yang menerobos semak dan terbuktilah akibat serabutan tersebut. Kami tersesat dan tak menemui arah yang benar, tapi kami bersyukur. Bersyukur karena kami tersesat ke kebun salak yang siap panen. “Jangan diambil, ada mantranya” kata Tamsur mencoba melarang kami memanen dengan alasan tahayul. “Ah tong di denge, ary golok tebas,” Kata Wanbar memberi perintah penjarahan. “Mantra Kang Wawan, mantra” kata Ary. “Alah ieu mah madarat, tong sieun urang aya penangkalna mun aya nanaon mah”. Lalu terjadilah apa yang kita inginkan, kami memanen secukupnya, secukup muatan di ransel.
“Bisa minta salaknya di” kata Tamsur yang akhirnya menelan ludahnya sendiri. Dia yang melarang dan dia pula yang meminta. “Tuh tingali si Tamsur, mantra mah eleh ku lapar mah” kata Wanbar kepada Ary. Lalu perjalanan pun dilanjutkan, hari mulai gelap, desa Karangan sudah dekat, kami sudah sakau ingin segera ke rumah panggung lagi, setelah seminguan mendaki dan membuka jalur.

Jalanan setapak itu gelap gulita, senter tak kami keluarkan karena malas mengambil di ransel, desa karangan mungkin satu kiloan lagi di hadap. Tiba-tiba Wanbar berteriak, “Golok tebas kadieukeun, aya banteng euy di tengah jalan” Kami pun mundur. “banteng naon Wan?” Kata saya. “Banteng liar euy, urang nebas neang jalan melambung weh” Kata Wanbar mantap penuh perhitungan sekali.

Kami tertahan dua jam lamanya di jalan menuju desa karangan, berputar-putar, karena ketika kami nebas melambung mencari jalan alternatif, binatang itu ikut mendekat. Begitu seterusnya, dan kami pun tak menemui kemajuan, karena setiap kami mencari lambungan, ke kanan atau ke kiri jalan setapak itu, binatang asing itu selalu mendekat ke arah tebasan kami. Kami dibuat mundur maju tak maju-maju.

Pusing dibuat cape olehnya, kamipun sepakat menempuh jalan setapak itu sambil membawa senter yang sebelumnya tak kami ambil di ransel, senter pun masing-masing di tangan, “Hayu ah bareng beriiringan“ Ajak kupil dan akuy, lalu kamipun berjalan ngabaduy sambil beringsut-ingsut seakan mau berbuat kejahatan ke arah si binatang yang sedang rebahan di tengah jalan. Hitam besar tertelungkup, semakin dekat semakin jelas,”Yeh gening munding euy lain banteng”
Kami pun terbahak-bahak menertawakan kewaspadaan yang berlebihan ini. lalu kami pun bisa lewat, karena munding (kerbau) memang tak liar dan tak galak, dia hanya ngelengos setelah kami lewat sambil bicara dengan bahasa munding, “Emoooohhhhh ….” Kata munding entah apa artinya.

Di jalan itu kami berhiperbolis memperbuas dan mendramatisir seperti biasanya, “Era atuh mun aya kabar di koran, tim gunung hutan Ekspedisi Sulawesi 94 tewas di suruduk munding, kabayang teu kamana beungeut Pak Himendra di simpen?” Celetuk Wanbar. “Komo mun di beritana ditambahkeun kieu, setelah di selidiki kepolisian, ditemukan salak hasil maok di kebon batur di dalam ransel masing-masing korban” Kata Wanbar sambil memamah biak salak hasil jarahannya.

Hanya lima belas menit di jalan munding itu, rumah panggung Pak RT terlihat dekat, lalu kamipun naik lagi ke rumahnya, ketemu lagi pak RT dan si akang, dan ketemu lagi teh Nikke Ardilla, yang masih menempel di dinding, masih sebagai poster. Dan kami pun melepas penat di selingi makan malam nikmat dan kopi hangat manis kental, diiringi lamat-lamat suara sang munding dikejauhan,”Emmoooohhhhhhh, ….” Katanya diiringi senyum simpul kami semua.
“Wan, Banteng Liar Wan”

Demikianlah – PLW 24382067 KP
Mengenang Ekspedisi 94 – episode pendakian dan perintisan jalur Gunung Rante Kombola.