Calabai-Labuhan Lombok Lewat Laut

Setelah menyelesaikan pendakian gunung Tambora, Agustus 1993,  seluruh anggota tim berembuk di sebuah rumah makan di Calabai. Rumah makan itu menjadi favorit untuk makan karena pemiliknya orang Ciamis, sehingga kerap memberi diskon kala mau bayar. Awalnya sih gratis makan disitu tapi lama-kelamaan ga enak juga makan disitu terus jadi biarpun keramahannya luarbiasa mereka cukup tau diri. Apalagi makannya selalu rewog hehehe..kecuali Ririn yang masih jaim  😀

Kali ini yang menjadi isu adalah rute kepulangan menuju Lombok. Ternyata mereka barutau ada kapal laut yang melayani Labuhan Lombok-Calabai. Jadi mengapa tidak pulang via laut saja? Masuk akal, daripada pulang memakai truk lagi ke Dompu, ngetem di Bima, dilanjut pakai elf ke Poto Tano, baru menyebrang ke Lombok. Setidaknya dua hari lagi baru sampai, sementara dengan kapal laut tak kan sampai lima jam sampai.

“Mening make kapal laut jigana” ujar Kuphil, yang masih terngiang dikejar-kejar preman terminal di Dompu.

“Enya, keur pengalaman anyar,” sambut Bar, yang tak rela pantatnya duduk diatas papan kayu seharian.

“Tapi aman teu …” Adjat yang tak bisa berenang menengahi suasana eforia ini. Suasana jadi hening.

Kapal laut dari Calabai memang bukan seperti kapal ferry besar yang melayani Selat Sumbawa tapi lebih mirip mrip perahu nelayan yang terbuat dari kayu. Ririn mulai bimbang, Dodi menyedot rokoknya yang belum bayar dalam-dalam, Wawan mengusap-usap dagu seperti berpikir padahal ngelap remeh bekas makan.

“Ari leuwih murah mah..” ujar Triyanto yang mulai cekak.

Apa boleh buat, tenaga, waktu dan rupiah harus dihemat. Masih ada Rinjani dan Semeru yang akan didaki jadi penghematan akan sangat membantu. Diputuskan besok pagi-pagi naik kapal laut ke Labuhan Lombok dari Calabai. Kebetulan, pikir Dodi, yang belum bayar roko. “Pa, abi mayar na sakantenan enjing we nya,” katanya ke pemilik rumah makan. Seketika istri nya mendelik, namun si Bapa memang sangat senang bertemu rekan sedaerah.

“Mangga..kamana atuh enggal-enggal teuing bade aruih deui.”

“Ka Rinjani, Pa,” ujar Dodi.

“Kade nya cep..sing ati-ati..” ujar si bapa seperti ke anak sendiri.

Esok paginya mereka kembali ke rumah makan, mengisi perut dulu namun entah sarapan atau sekaligus makan siang karena porsinya beca.  “Meh hemat teu kudu makan siang di Lombok,” bisik Bar. Enya bener oge, gumam Kuphil sepikiran, lalu menyekop nasi lagi. Ibu warung mendelik lagi.

“Tapi aku ga biasa makan banyak,” ujar Ririn menolak ide ga makan siang itu. Mungkin juga tak tega.

“Udah telen aja Rin, nih pake aer..” tukas Dodi menyodorkan segelas teh. Ririn melotot.

Sejenak ada rasa ragu kala masuk kedalam kapal kayu itu. Rupanya tak mereka saja yang antusias pergi lewat laut, warga pun sumringah memakai kapal yang tak setiap hari trayeknya ini. Mereka membawa serta berbagai bahan pokok, barang jualan hingga kambing ke dalam kapal. Wawan yang sudah defensif mengambil posisi wuenak terbelalak kala disamperi serombongan kambing “Waah..ieu mah..” keluhnya geleng-geleng .”Sakeudeung deui ge marodol geura,” gumam Tri pasrah menutup hidungnya memakai bandana.

Kecemasan Adjat lain lagi. “Pelampung belahmana nya?” tanyanya,”rek diuk deukeut pelampung we urang mah.”

“Moal ge aya pelampung Beh dinu kapal kieu mah,” ujar Bar santai melihat-lihat sekitarnya. Banyak anak-anak, perempuan dan orang tua ikut sebagai penumpang.

“Pindah we yu ka luar,” Wawan enggan seruangan dengan kambing. Yang lain sepakat. “Mun luwak mah nu modol teu nanaon.. ku urang rek disangrai kopi na,” gumam Wawan hiperbolis.

Di buritan belakang ternyata sudah penuh juga, mereka cuma dapat tempat didepan, berdesakan di hidung kapal. Sekali-kali hilang keseimbangan kala dihantam ombak besar. “Kieu meureun matak loba kapal nu titeuleum teh nya..” gumam Bar melihat sesaknya penumpang. Bisa ditaksir penumpang yang masuk kapal dua kali lipat dari yang tercatat di manifest syahbandar. Apa boleh buat, demi menghemat ongkos, tenaga dan waktu. Namun sejenak tercenung bahwa mereka menjalaninya hanya sekali, sedangkan warga lokal menakar resiko seperti itu sebagai keseharian demi menyambung hidup. Dari perjalanan-perjalanan seperti inilah mereka merasa dekat dengan rakyat kecil.

“Lain teu boga duit urang mah teu make pesawat teh…,” celetuk Wawan lagi-lagi bombastis,” bandara Bima na oge karak dipacul.”

 

foto – internet