Hal yang Paling Aku Takuti: Perempuan-Perempuan Hebat!

 By Sadikin

 

Sekitar tahun 1980-an, Gola Gong pernah menulis dalam salah satu episode cerita serialnya yang monumental, Balada Si Roy, “Apa yang paling ditakuti oleh seorang petualang adalah jatuh cinta.” Benar atau tidak, hanya para petualang –kaum backpacker, begitu Gong membahasakannya dalam diskusi beberapa waktu lalu di Rumah Malka, Bandung– yang bisa menjawab itu. Meski memang harus diakui, bahwa kaum the real backpacker yang terlihat gagah berani dan sering menantang maut itu seringkali terkaing-kaing dan “menyepi” di pelosok gunung atau lembah belantara milik Dayak Kenyah, memendam diri di Lembah Baliem Jayawijaya, bahkan memutuskan menutup diri untuk kembali ke kebersahajaan alam dan bergumul dengan keseharian Dayak Bahau yang hidupnya terlunta-lunta digusur HPH karena hatinya luluh lantah berantakan oleh pikat seorang perempuan yang menjadi tambatan hati dan subyek naluri berbagi perlindungannya di dunia.Dengan sadar, tulisan ini terinspirasi dari kata-kata yang ditulis Gong. Untuk itu, saya harus banyak berterima kasih, karena “Petualangan Si Roy” yang saya baca kurang lebih 17 tahun silam itu sudah banyak memberi inspirasi nakal dan liar dalam kerja-kerja saya sebagai peneliti yang sering bepergian ke tempat-tempat terpencil, jauh dari pusat kekuasaan tapi menjadi gerusan deru mesin modernisasi dan globalisasi. Sekali lagi, “Hatur nuhun, kang Gong”.

“Hal yang paling aku takuti: perempuan-perempuan hebat.”

 

Setelah ditimbang-timbang, muncul pertanyaan mundur, “Mengapa ditakuti?” Merenung sejenak, dan aku berpikir jawabannya bisa beragam meski masih dalam bentuk hipotesis. Bisa karena kepicikanku, bisa karena ketidak-mampuanku, bisa karena ada perasaan ketidaksanggupan untuk menggapainya, bisa juga karena ada sekian banyak konsekuensi dan implikasi yang akan memburuku jika “si hebat” itu menjadi bagian nafas hidupku.

Sebentar, paparannya musti agak sistematis. Mungkin sebelum aku berhipotesis untuk menjawab ketakutanku, terlebih dahulu aku harus mengurai jawabanku sebagai laki-laki atas pertanyaan, “Apa yang menjadi ukuran seorang perempuan disebut hebat?”

 

Baik, kita mulai. Tolok ukur yang digunakan seorang laki-laki untuk menakar seorang perempuan itu hebat atau tidak tentu saja relatif. Ini bukan jawaban apologi, atau berkelit, tapi begitulah kenyataannya. Setiap orang, setiap kepala, setiap rangkaian kepekaan otak seseorang memiliki hak untuk membangun tera atas apa yang hendak dinilainya, dicernanya, bahkan disetubuhinya, apakah itu dalam bentuk ide atau materi. Begitu pula tera untuk perempuan. Karena itu, dalam tulisan ini dengan sadar aku akan mengambil sikap subyektif. Mudah-mudahan saja subyektivisme milikku yang kelak muncul itu merupakan hasil dari dialektika matang dengan obyektivisme. Ya, mudah-mudahan!

Sebagian orang bilang, perempuan hebat itu seperti Thatcher, “Wanita Besi” dari Inggris yang oleh kaum anti globalisasi dan kontra neoliberalisme dituduh sebagai salah satu tokoh politik dunia  –di samping pasangannya Reagan– yang menjadi biang kerok penghancur sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi dan politik di negara-negara Dunia Ketiga yang miskin. Benar atau tidak, silahkan telusuri tulisan-tulisannya James Petras, Susan George, atau Pierre Bourdieu, kemudian bandingkan dengan gagasan-gasannya Hayek dan dokumen-dokumen resmi World Bank dan bank-bank pembangunan sejenis yang beroperasi di negara-negara berkembang.

Ada yang bilang, Kartinilah perempuan hebat. Benarkah?! Ah, tampaknya masih ada yang membantah pendapat itu. Menurut para pembantahnya, Kartini belum bisa disebut hebat, karena belum menjadi tokoh perempuan yang mengusung emansipasi sesungguhnya. Dia hanya menuntut akses pendidikan tanpa mampu mendobrak struktur dan budaya Jawa yang ketat, hierarkis, dominatif dan memenjarakan kaum perempuan. Demokratisasi pendidikan, bukan revolusi kebudayaan!

Menurut yang lain, bukan Thatcher bukan Kartini, karena sosok perempuan hebat itu harus seperti Zena, tokoh ksatria perempuan dalam film Hollywood yang berlatar mitos Yunani kuno. Ah, tapi kata seorang kaum feminis yang sempat berdiskusi denganku, dalam satu sisi, Zena itu memang hebat dan bisa mengalahkan laki-laki dalam peperangan dan pertempuran, tapi kehebatannya itu tetap bias laki-laki. Betapa tidak, kata dia, simbol-simbol yang dipakai dan membuatnya hebat dan eksis di hadapan laki-laki itu adalah simbol laki-laki, bukan simbol perempuan yang sejati. Menurutnya, keperkasaan, kekuatan fisik, dan kemampuan Zena menjadi ksatria, bahkan sampai ke detail pakaian dan peralatan yang dipakainya, semua itu menggunakan simbol-simbol yang biasa melekat dan terkonstruksi dalam sosok laki-laki.

Nah, lho! Lantas seperti apa perempuan hebat itu? Seperti Dian Sastrokah yang berhasil main cemerlang dalam Pasir Berbisik dan menjadi terkenal setelah Ada Apa Dengan Cinta? Seperti Sarah Azhari-kah yang mampu mendobrak pakem-pakem tabu satu perempuan dua laki-laki dengan anak tanpa ayah? Seperti putri Muhamad Ali-kah yang mengikuti jejak ayahnya menjadi petinju? Seperti Si Raja Okemkah, Butet Manurung, yang meleburkan dirinya bersama Suku Anak Dalam? Seribu bahkan sejuta jawaban bisa muncul, berpolemik, bahkan bisa menjadi satu buku kompilasi yang layak untuk dikomersilkan di toko-toko buku. Rasanya tidak akan pernah tuntas.

Lalu?! Jadi…?!

Sekarang aku sendiri bingung! Eh, tapi tunggu, dalam kebingungan selalu ada titik pencerahan. Tapi apa itu? Sebentar…, hmmm, ok, ketemu! Isi pencerahannya: ternyata sulit untuk menerjemahkan perempuan hebat dengan menggunakan pakem-pakem baku yang berlaku dalam dunia ilmiah-akademis sekalipun kita sudah mencoba mensubyektifkannya dan menekannya hingga menapak bumi. Sulit! Tidak akan bisa! Meminjam istilah Mei, mampuslah kita kalau tetap memaksakan itu! Tidak akan pernah ketemu, sama seperti mendiskusikan ayam dan telur.

Hanya itu titik pencerahannya?

Tidak! Hal penting yang aku dapat adalah: jangan pernah kita menerjemahkan kehebatan perempuan dari takaran-takaran cangkang tanpa isi; kalimat tanpa makna; materi tanpa ruh. Takarlah kehebatan seorang perempuan dari batin dan nurani terdalam diri kita yang jujur tanpa kebohongan yang berujung pada pamrih dan ketersanjungan semu. Kehebatan perempuan itu berpasangan. Artinya, kontekstual dan relatif. Jangan pernah memaksakan takaran satu perempuan untuk menilai banyak perempuan. Juga sebaliknya, jangan pernah menilai takaran kebanyakan perempuan untuk keunikan satu perempuan. Singkat kalimat, jangan memakai rumus baku logika formal dan pakem induktif-deduktif, juga sebaliknya untuk menakar kehebatan perempuan. Jangan mendikotomikan subyektivisme dan obyektivisme pada saat kita memaknai perempuan. Semua perempuan, seperti halnya laki-laki adalah unik dalam dirinya dan unik dalam pemaknaan pasangannya –baik laki-laki maupun perempuan.

Hmm.., unik dalam diri dan pemaknaan pasangannya, apa maksudnya? Maksudnya, perempuan baru bisa dikatakan hebat jika dia bisa bersikap jujur dan mengekspresikan kejujurannya – entah kejujuran untuk memberontak maupun bersikukuh dengan nilai-nilai mapan yang dianutnya – kelemahan sekaligus kelebihan yang disadarinya sebagai manusia yang sederajat dengan laki-laki. Ingat! Sebagai manusia, bukan sebagai perempuan dalam terminologi budaya dan hubungan kekuasaan (power relation). Kehebatannya akan menjadi lebih hebat lagi jika dia mampu menampilkan sosok dirinya apa adanya tanpa hambatan budaya yang lengket dengan batasan sakral-profan, pantas tidak pantas dan seterusnya yang semua itu bertumpu pada gagasan hasrat laki-laki untuk menguasai. Menangislah ketika nurani ingin menangis, teriaklah jika diri menuntut teriak, manjalah selagi hati berhasrat dimanja, dan jadilah pegulat tangguh jika kata hati meminta seperti itu, cengenglah jika kecengengan membuat nyaman jiwa, makilah laki-laki jika dia tidak dikehendaki, pujilah laki-laki jika engkau berhasrat memujinya, dan rayulah kaum adam jika rayumu memberi ketenangan hidup yang sesaat ini.

Ah, kalau cuma itu batasan perempuan hebat, apanya yang musti ditakuti dari perempuan-perempuan hebat? Jangankan satu, seratus pun rasanya tidak ada yang perlu ditakuti. Ya, setuju! Sampai pada titik bahwa perempuan dengan ciri-ciri seperti itu adalah perempuan hebat memang tidak ada yang perlu ditakuti. Cuma masalahnya, kita tidak akan mampu memaknai seorang perempuan itu hebat jika kita tidak mampu mendekap nurani dan batinnya sehingga dia mampu menampilkan sosoknya dengan jujur tanpa pembatas budaya parsial dan artifisial. Kita tidak akan pernah mampu mendekap perempuan hebat jika kita sendiri tidak cukup hebat untuk membongkar selubung-selubung budaya yang mengkerangkengnya dari jeruji ketidakjujuran. Makna terdalamnya, mampukah kita memaknai sosok perempuan yang hebat itu sehingga jiwanya tenang dan nyaman untuk menampilkan sosok sakralnya dengan jujur pada kita, laki-laki. Perempuan hebat memang banyak, ada yang berkelebat, ada yang transparan, dan banyak yang lugas terbuka membelalakkan mata, tetapi mampukah kita mendekapnya dengan senyum ketenangan hingga sosoknya menjadi semakin hebat mengkilat untuk diri, kita, dan lingkungannya? Pertanyaan terakhir inilah yang menakutkan aku menempatkan perempuan hebat yang layak bagi dirinya, karena belum tentu aku mampu mendekapnya dengan ketenangan dan menidurkannya di pembaringan kedamaian. Sungguh bukan hal yang mudah!

Wassalam,