by Luthfi Rantaprasaja
Ditengah hingar bingar ekspedisi prestisius Palawa mengeksplorasi gua sungai terbesar dunia di negara Laos dan belum lekang dalam ingatan beberapa minggu sebelumnya Palawa melakukan pendakian puncak gunung es di negara Nepal. Maka perjalanan dua orang dari Palawa Indonesia, saya dan saudara Erwin , ke negara Yogya aliasNgajogjakarto Hadiningrat utk menghadiri Konferensi Nasional Pengelolaan Bencana di lereng gunung Merapi jauh dari kesan heroisme sebagaimana dua kegiatan lainnya tersebut. Selain karena lokasinya masih di dalam negeri juga mungkin karena tidak melibatkan aspek adventure di dalamnya. Kalo monarki Yogya, yg beberapa waktu lalu sempat heboh, jadi melepaskan diri dari NKRI, mungkin perjalanan kami akan sedikit lain kesannya. Walaupun begitu, masih syukurlah sampai saat ini Yogya masih jadi bagian dari Indonesia, sehingga paspor tidak perlu kami siapkan sebagaimana beberapa saudara muda kami yang bahkan perjuangan heroiknya sudah harus dimulai dengan berjibaku menghadapi birokrasi pemerintah dalam waktu yang sangat sempit untuk mengurus KTP di kampungnya dulu sebelum dapat paspor sebagai syarat ikut ekspedisi ke luar negeri.
Sebenarnya upaya menghadiri Konferensi Nasional ini nyaris tidak terlaksana, selain memang undangan yang relatif terlambat kami terima. Juga pengambilan keputusan untuk menghadiri kegiatan dari luar, yang biasanya selalu diawali dengan ritual ‘ngopi doeloe’alias bincang2 berdiskusi sambil ngopi di Bandung batal terlaksana atau tertunda terus. Utamanya karena domisili saya yang jauh dari episentrum kegiatan Palawa di Bandung, juga ditambah kesibukan Bar, Ketua Yayasan Palawa Indonesia sebagai penanggungjawab Ekspedisi mempersiapkan perjalanan ke Laos sudah menjelang detik2‘D-Day’ keberangkatan. Namun demikian, dengan komunikasi jarak jauh memanfaatkan email, media sosial dan telepon akhirnya diambil keputusan bahwa Yayasan Palawa Indonesia harus dan wajib malah menghadiri undangan ini.
Pertimbangan utamanya adalah karena ada peluang pembelajaran yang luar biasa dalam kegiatan ini mengenai konsep & metodologi dalam Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) atau Community Based Disaster Risk Management (CBDRM), berikut peluang mengetahui praktek2 terbaik implementasi konsep tersebut dari para pelaku/praktisi pengelolaan bencana di seluruh Indonesia serta terbukanya jaringan baru bagi Yayasan Palawa Indonesia kepada masyarakat pengelolaan bencana di Indonesia. Pertimbangan lainnya adalah pengurus menyadari bahwa divisi disaster management masih lebih berkutat kepada aspek Tanggap Bencana sebagaimana pengalaman di lapangan selama ini. Padahal apabila Yayasan Palawa Indonesia ingin berkiprah di tingkatan lebih tinggi atau the next level sebagaimana slogan yg sering didengung2kan, maka mempunyai perangkat pengetahuan atau know how tentang pengelolaan resiko bencana yang komprehensif, bukan hanya pada saat terjadinya bencana tapi juga Pra- Bencana & bahkan Pasca-Bencana, akan lebih mengoptimalkan sumbangsih YPI dalam pengelolaan bencana yang lebih baik di Indonesia, negara yang sejatinya hidup dengan kerawanan resiko bencana tingkat tinggi.
Akhirnya bak kesebelasan MU Inggris yang punya ‘kebiasaan’ menciptakan gol di menit-menit akhir atau injury time maka begitupula YPI, baru menegaskan keikutsertaannya pas menjelang menit2 akhir kepastian partisipasi bagi undangan ditutup.
Berbeda dengan pelaksanaan KN PRBBK sebelum2nya yang biasanya bertempat di hotel, dalam KN PRBBK VII kali ini dilaksanakan di dan bersama komunitas yang sesungguhnya, para penyintas erupsi Gunung Merapi 2010. Tepatnya di Hunian Sementara (Huntara) Shelter Gondang I , Dusun Gondang Pusung (900mdpl), Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Peserta dan panitia menginap di rumah-rumah penduduk dan pertemuan konferensi pun menggunakan fasilitas lokal yang tersedia. Hal ini sudah terinformasikan sebenarnya kepada kami sebelumnya dalam undangan, namun bahwa gambaran keadaan di lapangan ternyata tidak seperti yang kami bayangkan. Bahwa akses menuju lokasi pun ternyata tidak semudah yang tercantum dalam panduan yang diberikan panitia, padahal kami pikir dengan jarak yang hanya 25 kilometer dari Bandara Adisucipto tentunya tidak akan sulit bagi kami mencapainya. Apalagi mengingat masyarakat Yogya yang terkenal ramah, baik hati dan tidak sombong, maka akan mudah kami mendapatkan informasi dan petunjuk arah menuju lokasi, it’s peace a cake lah dibanding harus cari info di lao cai di Vietnam atau di thakek di Laos misalnya.
Namun demikian, begitu kami sampai di Bandara Adisucipto, ternyata umumnya yang kami temui tidak pernah tahu nama lokasi yang kami tuju, bahkan diperparah dengan orientasi kepentingan beberapa dari mereka yang ternyata menawarkan jasa pengantaran sendiri sehingga terkesan mempersulit. Begitupun ketika kami berusaha menanyakan alternatif transportasi sesuai rujukan arah dalam panduan yang diberikan panitia karena kurangnya petunjuk dan informasi bahkan didalam terminal sekalipun, maka rata-rata akan menawarkan pengantaran/charter yang ujung2nya tentu menguras biaya yang lebih banyak. Kalau sudah begini, saatnya bersosped ria, dengan berjalan agak jauh dari tempat semula untuk menemui penduduk Yogya ‘yang asli’ yang kami yakin akan dengan tulus memberikan informasi dan arah yg benar. Alhamdulillah kami diberikan informasi yang baik, dengan sedikit menyalahkan petunjuk dari panitia yang tidak up to date, sehingga setelah berganti kendaraan dari Transyogya di Condong Catur kami lanjut menggunakan bus kecil/elf menuju Cangkringan.
Walaupun sudah dalam perjalanan menuju lokasi yang kami tuju, masalah transportasi bagi kami belum benar2 selesai, karena ternyata supir bus elf itu tidak jadi mengantarkan kami ke Cangkringan sebagaimana konfirmasi awal melainkan hanya sampai Ngemplak. Mungkin mengingat sejak beberapa kilometer sebelumnya hanya kami berdua penumpang satu2nya yang tersisa, mungkin juga karena sebagaimana alasan yang dikemukakan, jam kerjanya sudah selesai dan mau langsung pulang. Walah ndalah… kok dadi ngene to mas… Yo wes turunlah kami di pertigaan yang msh menyisakan sedikitnya 8-10 kilometer lagi menuju lokasi yg kami tuju.
Kembali saatnya bersosped ria… ternyata memang di titik itu tidak ada lagi sarana transportasi umum yg tersedia di sore hari, ojek yang biasanya ada cuman sampai siang hari atau pas bubaran anak sekolah, setelah itu blas bablas. Namun dari hasil sosped disarankan juga untuk mencoba menumpang truk pengangkut pasir yang biasanya mengarah ke lereng merapi yang mungkin melewati lokasi yang kami tuju. Oke, kami pikir, dan dalam waktu beberapa menit menunggu, termasuk sempat terlewati mobil dinas pejabat daerah lengkap dengan vojrider-nya, ada juga truk yg bersedia direpoti untuk mengangkut kami hingga ke Cangkringan krn kebetulan truk itu juga melewati titik itu. Lucunya sepanjang jalan, ternyata si bapak supir truk ini sepertinya ga bisa bahasa Indonesia alhasil beliau nyerocos trus ngomong jawa. Sebenarnya kami berdua sedikit mengerti bahasa Jawa namun dengan kecepatan bicara, logat dan intonasi yg unik hampir tidak ada kalimat yg kami mengerti.
Dari Cangkringan, masih tersisa kurang lebih 3-4 kilometer lagi ke dusun gondang pusung. Sebagaimana di ngemplak, sudah tidak ada lagi sarana angkutan ojek. Namun disini sudah ada terlihat papan petunjuk menuju lokasi Konferensi Nasional di Shelter Gondang 1. Sempat terbersit kalo sulit mendapatkan sarana angkutan kami akan jalan kaki saja, apalagi keliatannya truk2 disini sudah lebih sulit dihentikan. Satu2nya yang mau berhenti hanyalah mobil pick up, itupun sebenarnya tidak menuju ke arah lokasi, namun bolehlah menumpang sebentar walaupun tidak sampai 1 kilometer, paling tidak bisa memperpendek jarak menuju lokasi sehingga kalaupun terpaksa harus berjalan sudah lumayan mengurangi jatah jalan kaki.
Sampai dipersimpangan jalan, kami pun turun lagi dari pick up dan kembali bersosped, mencari cara menuju lokasi konferensi. Beruntung, ada salah satu peserta konferensi dari organisasi lokal yang kebetulan melewati kami sehingga menawarkan untuk ikut bersama menuju lokasi. Masalahnya, hanya ada satu motor yang dia bawa, sementara kami ada berdua lengkap dengan ransel dipunggung. Akhirnya saya putuskan Erwin untuk ikut saja dengannya pake motor biar saya cari alternatif transportasi lainnya. Sedikit pun tidak ada rasa menyesal melihat Erwin yang dengan sigap sudah menggunakan raincoat menaiki motor bersama si mas peserta lokal, sementara saya masih celingak-celinguk sambil berjalan mencari kendaraan apapun dari kejauhan sudut jalan. Konsekuensi bahwa bisa jadi saya harus berjalan kaki sendirian ke lokasi malah membuat saya bersemangat. Padahal sore itu cuaca sudah mulai gelap dan hujan pun sudah mulai turun rintik2 yang seolah mengkonfirmasi sms terakhir dari panitia untuk bersiap menggunakan payung atau jas hujan karena sudah turun hujan besar di lokasi. Ah tak mengapa, justru aspek dadakan & ketidak pastian seperti ini yang mewarnai dan memberi bumbu dalam setiap perjalanan, sejatinya justru keadaan seperti itu yang dicari. It won’t hurt anyway, just couple kilometer…
Saat sidang menyiapkan raincover utk menutupi ransel dan mengeluarkan jacket goretex merah andalan veteran fansipan, sekilas ada truk lewat, dengan berlari kecil saya coba menghalangi truk itu, minta ijin sang supir untuk ikut dan berhasil naik keatasnya. Syukur, truk itu juga menuju arah Gondang Pusung, tapi karena mengarah ke Sungai Gendol jadi pada akhirnya mungkin saya tetap harus berjalan kaki ke lokasi, ya tidak apa2 lah saya pikir … paling tidak sekarang sudah tidak akan terlalu jauh lagi jalannya. Benar saja, saya harus turun di simpang jalan dan harus berjalan kaki menuju lokasi. Hujan sudah turun dengan lebatnya. Karena sudah tanggung basah, saya lanjut saja ke lokasi berhujan-hujan… dinikmati saja… sambil beromantisme seolah sedang turun gunung atau sedang ngaping siswa saat diklat… no worries lah…
Sesampainya di lokasi, acara pembukaan baru saja dimulai didalam sebuah tenda besar yang bocor disana-sini. Namun demikian para pejabat nasional maupun lokal seperti Deputi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Gubernur DIY & Wakil Bupati Sleman serta beberapa kepala instansi pemerintah lokal bersama pimpinan beberapa lembaga nasional & internasional dipandu panitia tetap melangsungkan acara sesuai jadwal. Suasana kedaruratan sepertinya memang ingin ditampilkan panitia dengan menyelenggarakan konferensi di lokasi shelter komunitas penyintas erupsi merapi. Jadi kondisi sebagian peserta yang basah kuyup oleh hujan pun tidak menjadi halangan berarti. Seolah mahfum bahwa keadaan saat itu masih jauh lebih baik dibanding ketika dalam keadaan bencana yang sebenarnya. Toh sebagian peserta walaupun sedikit mengigil nampaknya bahkan menikmati kondisi itu, seperti halnya saya. (2011)
Keterangan foto : Presenter Diskusi Kelompok “Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) dalam Konteks Pasca Erupsi Merapi (Erwin Abdulrahman)