Di antara bebukitan kina, Bais dan Dodi mencoba mempraktekkan teknik menentukan arah dengan kompas yang telah mereka pelajari. Melihat itu, Wawan dengan tenang menyela,” Serahkeun we ka urang masalah cek point mah.”
“Pernah kadieu kitu? “ tanya Dodi heran
“Acan sih,” ujar Wawan.
“Yeuh atuh kompas jeung peta,” Bais menyerahkan kompasnya.
”Alah, neang cek point make kompas sagala.. kawas amatir..geus abuskeun deui we,” ujar Wawan penuh keyakinan diri.
” Tuh .. pasti ka arah ditu,” Ia menunjuk sebuah arah dengan mantap, seperti Cong Li menunjuk sambil berseru You are next!. Yakin dengan keahlian navigasi Wawan, semua mengikuti arah itu. Hingga sampai di sebuah warung.
“Tah..ieu ngaranna check point,” ujar Wawan puas sambil menyambar sebuah bala-bala panas.
“Sugan teh…” gerutu Bais. Check point warung dikembangkan oleh Wawan dan akan menjadi protap yang populer di kemudian hari.
Teknik cek point warung itu kemudian disempurnakan oleh Dodi yang menambahkan teknik sos-ped. Apa itu sosped? Bukankah kependekan dari sosial pedesaan? Ah, ternyata Dodi memperkenalkan varian baru untuk pengertian sos-ped. Mari kita simak:
“Sekali merengkuh dayung, nginep, ngopi dan makan terlampaui,” jelasnya. Ia mempraktekan varian sosped ini di kaki-kaki dari gunung Tambora hingga Latimojong. Tak ayal lagi, teknik yang sangat adaptif ini menjadi keahlian utama para petualang dengan kategori budget traveller. Namun di kemudian hari pendekatan ini mendorong tumbuhnya ekonomi desa seperti munculnya homestay dan sebagainya.
Kontribusi Adjat lain lagi, ia mengenalkan teknik baru dalam dokumentasi alam bebas. Fotografer andalan angkatan Kawah Putih ini secara tak sengaja menemukan teknik memotret cepat di belantara Ujungkulon. Begini ceritanya :
Dalam kelebatan hutan, rombongan bergerak babaduyan menuju kawasan Tanjung Tereleng. Adjat yang sibuk mengabadikan pergerakan rombongan sengaja mengambil jarak di belakang sambil mengatur berbagai setting kameranya, maklum dulu belum jaman DSLR. Tiba-tiba ia terkesiap merasa ada sebuah bayangan hitam bergerak di sampingnya. Macan…! desis Adjat terkesiap, seperti tokoh Emon dalam Catatan si Boy
Tak dipikirkan lagi semua setting kamera, ia berlari mengejar rombongan sambil terus menjepretkan kameranya. “ Euy..tungguan euy..!” teriaknya terbirit-birit ketakutan.
“Kunaon beh? Geus kapoto acan urang?” tanya Firkan.
“Boro-boro..” ujar Adjat dengan nafas memburu,” urang motret na oge bari lumpat. Paling maneh kapotret suku na.”
“Har..kumaha atuh urang geu pose tadi,” protes Firkan. Ia baru saja bersusah payang melakukan pose levitation dengan ransel seberat 60 liter.
“Engke we lah make photo shop,” balas Adjat,” tibatan urang dikerekeb maung.” Teknik crouching tiger hidden dragon ini memang tak lazim di tahun 92, namun Adjat mencoba visioner. Ia berjanji akan memperbaiki foto kaki-kaki Firkan dengan photoshop bila aplikasi tersebut sudah ada…lima belas tahun lagi.
Di medan gunung Burangrang yang berbukit-bukit, sebuah teknik loading baru juga diperkenalkan oleh Bar. Lazim disebut teknik gravitasi.
“Bruukk..brak…gedabrug..!” sebuah ransel berguling-guling lalu jatuh ke sebuah lembah.
“Astagfirulloh…” Bais dan Muhamaddan yang berada di lembah terkejut bukan main melihat sebuah ransel jatuh dari langit tak jauh didepannya.
“Ieu mah ransel si Barbar, “ Muhamaddan mengenali bekas jahitannya di ransel KW itu.
“Kamana si Barbar nya? “ Bais juga heran.
Tak berapa lama kemudian..gurusuk..gurusuk..muncullah pemilik ransel sambil cengengesan.
“Aya ransel urang?” tanyanya.
“Naha murag sorangan?”
“Beurat atuda..di alungkeun we ti heula. Urang nyusul.”
Gubrakk..Bais dan Muhamaddan mengalami vertigo selama sekian detik.
Kembali ke Wawan, figur yang inovatif ini selalu membuat yang lain berdecak kagum. Sejak pertama menjadi pelatih, ia selalu lincah mengaping siswa dengan ransel merk Verdon yang membubung tinggi. Semua kagum dan bertanya-tanya, demikian kuatkah Wawan? Jika demikian, hanya masalah waktu saja Wawan akan mencapai puncak Himalaya, pikir mereka. Namun, ternyata Wawan punya trik tersendiri.
“Tah kieu carana..” ujarnya membuka ransel Verdon-nya. Ternyata rahasianya bukan meminum extra jos atau telur bebek, melainkani packing ransel itu sendiri.
Lapisan dalam ransel Wawan ternyata dilapisi pleh gulungan matras yang melingkar, sehingga bentuknya fit dengan ukuran ransel. Jadi, sebenarnya isinya…nyaris kosong!
“Nu penting penampilan jadi hurung,” ujar Wawan berseri-seri.
Dudung tak mau ketinggalan menyumbang keahliannya dalam inovasi-inovasi kegiatan alam bebas. Ia membuat semacam tiruan kompor Trangia yang mahal itu, dari kaleng dan aluminium.
“Ku urang dipatenkeun hade jigana yeuh..” ujarnya. Tentu saja dibanding kompor parafin yang old fashion, temuan Dudung ini sangat fashionable.
Kompor ini lalu diuji coba dalam survey diklat. Semua berlalu dengan mulus, Dudung berseri-seri melihat kompor andalannya cukup reliable. Ia melamun dijamu oleh Dirjen HAKI membahas temuannya..hingga kemudian..
“Dung..ieu kumaha packingna..panas euy..hufff..hufff,” Opik berteriak-teriak sambil meniup tangannya.
Lamunan Dudung buyar seketika. Kompor itu panas bukan main, setelah acara memasak selesai. Tentu saja, ibarat membakar kaleng selama setengah jam. Padahal mereka harus bergerak lagi.
“Kumaha atuh..maenya ditinggalkeun?”
“Buruan packing kaburu sore,” yang lain tak sabar. Dudung makin bingung, perjalanan ke kantor Dirjen HAKI masih jauh dan berliku.
…Don’t take it too seriously, guys…