Kagok Edan di Kayan Mentarang

Semangat dan keinginan kuat untuk unggul adalah yang memperkuat daya tahan.Kualitas ini jauh lebih penting daripada peristiwanya (Lombardi – pelatih sepakbola)

 

Pada tahun 1996 ekspedisi yang akan diberangkatkan dari kampus dimaksudkan untuk suatu penelitian ilmiah terbatas yang akan memiliki muatan ekologis. Bagi sebagian rekan yang terbiasa naik turun gunung ide ilmiah ini terasa janggal dan kurang menantang karena lebih terbiasa melakukan petualangan yang ekstrim. Namun bukan berarti kegiatan  tersebut tak pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa tim pengembaraan memiliki misi pengamatan  konservasi dan ekologi, seperti perjalanan ke Ujungkulon dan Way Kambas.

 

Ekspedisi ilmiah

Sebenarnya waktu yang tersedia sangatlah sempit untuk mempersiapkan sebuah ekspedisi ilmiah yang memadai. Beruntung kala itu cukup banyak mahasiswa di kampus yang lapar akan petualangan. Sebagian dari mereka merupakan para petualang yang telah jadi, sehingga tak menuntut banyak persiapan teknis. Seperti kata Aime Jaquet ketika membawa tim Perancis di Piala Dunia, teknik sepakbola apalagi yang harus ia ajarkan kepada seorang Zidane? Ia adalah sepakbola itu sendiri… Maka yang dilakukan saat itu hanyalah memberikan sentuhan akhir, yaitu membangkitkan passion untuk melakukan penelitian.

Sebagai experimen, dikirim tim kecil sebagai  pilot project penelitian insitu ke cagar alam Sancang di Garut Selatan. Hasil observasi tim merupakan evaluasi untuk menyelenggarakan kegiatan serupa dalam skala yang lebih terukur. Sadikin, yang berasal dari jurusan Antropologi kemudian memunculkan wacana suatu ekspedisi ilmiah terbatas dengan metode penelitian yang lebih matang. Lokasinya kemudian dibidik: Taman Nasional Kayan Mentarang di Kalimantan Timur.

Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) seluas sekitar 1,32 juta hektar terletak di wilayah Kabupaten Nunukan dan Malinau. Di sini terdapat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, sehingga dapat dikategorikan ke dalam salah satu diantara sepuluh kantong keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Selain itu, kawasan TNKM memiliki berbagai tipe ekosistem yang unik, menyimpan peninggalan sejarah suku Dayak, mempunyai daya tarik wisata, budaya, tradisi serta keindahan alam. Semula TNKM berstatus sebagai Cagar Alam, yang ditetapkan Pemerintah pada 1980. Kemudian di tahun 1996 kawasan ini diubah statusnya menjadi Taman Nasional.

Ekspedisi yang dinamakan Operasi Lintas Rimba Indonesia (OLRI) ini diharapkan menjadi cikal berkembangnya ekspedisi-ekspedisi  ilmiah selanjutnya. Mungkin suatu saat  kami dapat melakukan napak tilas ekspedisi Wallace atau mencari jejak penelitian Weber dan Junghun di nusantara ini. Mengapa tidak? Kampus adalah tempat luar biasa yang memiliki semua sumber daya manusia yang dibutuhkan.

 

The winning team

Di tengah persiapan, beberapa kendala muncul dan menghambat penyelenggaraan ekspedisi ini. Dari minimnya waktu persiapan, batalnya penggunaan fasilitas WWF di lokasi Taman Nasional, tidak adanya fotografer berpengalaman yang dapat ikut serta, hingga berhalangannya beberapa anggota tim untuk mengikuti ekspedisi. Dana yang seret dari Rektorat hampir saja membatalkan kepergian Tim Ekspedisi Kayan Mentarang ini, karena setelah dikalkulasi ternyata dana yang ada hanya cukup untuk pergi saja!

Namun tak ada yang dapat menghalangi hasrat para petualang untuk sampai ke tempat tujuannya. Moda transport sesungguhnya dari para pemilik jiwa yang resah itu adalah daya jelajah mereka sendiri, yang lahir dari keinginan yang kuat untuk memberi makna lebih pada hidup.

“Kudu loba sos-ped di lokasi jigana, Dung,” ujar Bar, manajer ekspedisi, kepada Dudung. Ini isyarat bahwa dana tak cukup. Apa boleh buat, karena dana sangat minim pasukan infantri ekspedisi kali ini kali ini bukan tim kolosal yang gagah melainkan tim kecil yang lincah.

“Bae lah dicukup-cukupkeun we,” sahut Dudung pasrah. Kapaksa ngaluarkeun jurus andalan ieu mah, pikirnya, endog dibagi tilu, kornet hiji jang saminggu.

Dudung jelas cemas, namun pantang menyerah. Ia sebagai ketua tim ekspedisi akan berangkat bersama Diki (MR) dan Anas (SH)

“Omat mawa sabuk,” pesan Dudung kepada kedua sekondan ekspedisinya, ia sudah membayangkan setidaknya berat badan akan turun lima kilo.

Maka dengan militansi tinggi Tim Ekspedisi Kayan Mentarang  tetap berangkat ke pedalaman Borneo di tengah segala keterbatasan yang ada. Semua kekurangan hanya akan dapat diatasi oleh kreatifitas, kekompakan dan fighting spirit tim di sana. Semua merasakan aura militansi yang menggetarkan dari tim kamikaze ini . Kagok edan.., demikian kira-kira menurut istilah di Bandung. Semua personil bertekad mengerahkan segala kemampuan terbaik yang dimilikinya.

 

Idealisme baru

Lebih dari satu bulan kemudian tim merampungkan ekspedisi ini dengan baik dan penuh dedikasi. Mereka dapat membuktikan diri sebagai the winning team  yang kualified dalam mengemban misi kritis untuk memulai tradisi penelitian ditengah terbatasnya support yang diperlukan untuk sebuah standar ekspedisi. Beberapa target penelitian memang terpaksa dipangkas, namun tak mengurangi apresiasi pada Tim Ekspedisi Kayan Mentarang.

Pada tahun 2001, kembali diselenggarakan sebuah ekspedisi ilmiah di Tolaki Ulu, Sulawesi Tenggara. Entah ini ada kaitannya dengan OLRI atau tidak. Namun setidaknya, tradisi ekspedisi ilmiah tetap terjaga dan diwariskan. Para perintis ekspedisi ilmiah di kampus boleh berharap bahwa mereka telah meninggalkan the right track untuk terus dilalui, yaitu sebuah idealisme segar yang dapat kita yakini akan terus berkembang.