Para petualang mendambakan sebuah reuni dengan berbagai elemen alam masa petualangan dulu: kabut, dingin, bara api, aroma rumput basah, angin yang berhembus dari sela pepohonan hutan. Semuanya seraya menyeruput secangkir kopi panas.
Maka saat reuni tahun 2016 dilangsungkan di villa Jeng Tie di Parongpong, tak banyak antusiasme dari klan KP. Padahal kala itu agenda penting seremoni pengangkatan Anggota Kehormatan. Namun klan tak bergeming.
“Urang rek ngolong heula,” ujar Opik memilih ngoprek jip Ford nya ” ke mun geus beres karak kaditu jeung si Tri.” Triyanto angguk-angguk.
“Hoream di villa mah, euy” gumam Bais serupa.
Bar juga enggan datang tapi posisinya sebagai ketua Yayasan Palawa Indonesia (YPI) terpaksa mengiyakan undangan yang disampaikan penuh kesantunan.
“Geus we datang peuting balik isuk-isuk,” ujarnya ke Bais. Hayu mun kitu mah, Bais mengiyakan.
Malam itu Agung(CR) baru datang dari Jakarta mencari tumpangan ke Parongpong.
“Hayu bareng,Gung,” ujar Bar yang memang niat datang malam. Agung pun sumringah ada tebengan.
Mereka meluncur ke Parongpong seraya memikirkan alasan keterlambatan pada seremoni penting ini. Tiba-tiba kehadiran Agung memercikan sebuah ide jahil.
Saat datang tentu saja sudah banyak yang berhimpun mereka pun sedikit menyesalkan, “Waduh darimana ini kok baru datang..” tanya bang Juston ,”upacaranya udah selesai.”
“Ini nunggu Agung, baru datang dari Jakarta,” jawab Bar dan Bais bersamaan sambil menunjuk ke Agung.
Agung seperti tersambar petir, kaget akan manuver dadakan yang tak diantisipasinya. Namun ia tak bisa berkelit dari para mentor seniornya itu ” Iya kang punten ..” ujarnya.
Opik dan Triyanto menepati janjinya, setelah beres ngabengkel mereka datang ke villa jeng tie.. jam dua pagi.
“Jir, karak datang wayah kieu” ujar Bais yang masih terjaga. Semua sudah tidur lalu mereka juga mencari tempat ikut beristirahat.
Pagi-pagi sekali Bais dan Bar bersiap pulang lalu membangunkan Agung. Mereka pun berniat pulang. Namun tak semudah itu menyelinap dari para pemburu tua yang berpengalaman.
“Har rek kamarana ieu,” tanya kang Ciwong curiga. Waduh ketahuan, pikir Bar tapi ia segera mengulang tadi malam.
“Ini Agung mesti balik ke Jakarta,” tanpa belas kasihan Bar menuding ke Agung, sambil mengedipkan mata ke Bais yang langsung paham
“Iya kasihan Agung ga ada tumpangan ke Bandung, ” timpal Bais pura-pura empati.
“Waduh sayang sekali ya momen sakral begini,” sesal kang Ciwong ke Agung.
“Iya kang… hampura,” jawab Agung lirih. Duh katempuhan wae euy, keluhnya. Namun lagi lagi tak bisa berkelit.
Mereka pun segera turun ke Bandung dengan senyum simpul sementara Agung mendapatkan pelajaran akal bulus kesekian kalinya dari senior. Anggap saja mabim, Agung menghibur diri sambil mengelus dada.