Jika aku membaca sebuah buku dan itu membuat seluruh tubuhku sangat dingin sehingga api pun tak mampu menghangatkanku, aku tahu, itulah puisi. (Emily Dickinson)
Ujung pertemuan dengan peradaban adalah sebuah kampung di balik gunung. Kampung terakhir dengan lampu pijar yang menyala gemetar. Kakimu tak lagi merasakan aspal keras namun tanah lunak agak basah. Jalanan tak bernama itu tersenyum mengantarmu ke ujung sebuah tepi. Aroma hutan yang mengetuk-ngetuk lembut, mengisi ruang lapang di rongga paru-paru dengan hawa yang suci.
Dibelakangnya kau melihat kabut mengumpul. Merayap turun dari atas gunung, merendah tebal memeluk pepohonan. Hutan dan kabut saling berdekapan rindu. Siluet pepohonan menjauh kian samar, kian putih tertelan awan.
Disini waktu tak banyak menyapa. Engkau adalah pusat semesta yang menentukan masamu sendiri. Waktu tak mengejarmu, melainkan menjadi hambamu. Pergantian hari hanyalah pertanda lelah, dimana tanah hangat menyambutmu rebah. Kesenyapan yang perawan tak membuatmu beranjak tua, namun tiba-tiba saja kau akan mengerang menyadari berkurangnya usia.
Engkau perlu merangkai kembali kata-kata yang selama ini tak ada arti untukmu. Pagi yang membuatmu takut, disini adalah keindahan yang tak ingin kau lepas dari dekapan. Saat hawa suci membebaskanmu dari kekosongan, memberi keindahan yang selama ini tak kau tanggapi. Hujan yang kau hindari –kau menggerutu pada banjir- disini adalah kasih sang alam yang menyayangimu. Air agung yang kau reguk sampai tetes terakhir.
Disini malam tak menjadikanmu sempit. Kau hanya disambut oleh sebuah kehidupan yang berbeda warna. Gelap sekelilingmu bukanlah hitam seperti yang kau usir di kota. Disini kau berbagi cahaya yang berpendaran dari bintang, bulan, dan kunang-kunang serta dibuai irama perindu malam. Kau tak menentukan batasmu disini, kau bagian dari alam yang tak berbatas.
Kalbu merasakan meluapnya getaran rindu yang membuatmu resah selama ini. Sebuah kabar asal-usul yang kau kais dengan gelisah sepanjang waktu, suatu pulang yang rindu kau cumbu. Di jalanan tanah yang basah terhampar riwayat panjang dari masa lalu. Embun bercerita tentang masa bayimu, masa kecil ibumu, masa bocah para leluhur yang dibesarkan oleh keharuan. Tak terbayangkah di beningnya gemericik sungai itu wajah ibumu nan bersinar-sinar membelai penuh kasih ubun-ubunmu yang lunak.
Tak sadar gerammu menggelegak saat kau menangisi masa yang tersia-sia oleh kegelapan. Samudera maha luas pun tak kuat menampung dukamu yang menghujam. Entah pada siapa kau marah, mungkin kau ingin memurkai segala sesuatu yang telah kau lewati dulu. Barangkali juga kau kecewa karena tak ada kesempatan berikut melewati jembatan rapuh hidupmu. Kau hanya meneruskan ceritamu dengan berjalan ke depan. Masa yang lewat telah menjadi bayangan pudar, entah ceria atau berduka ia terpisah darimu.
Namun kau masih memiliki sekeping hati yang rapuh dan teramat sabar untuk menuntunmu ke depan. Sebuah lilin kejujuran pada lorong-lorong kegelapan hidup. Seperti kearifan kampung terpencil di balik gunung yang membimbing gamangmu dari lenggok dan kemabukan kota.