Kanikeh Desa Terpencil di Kaki Gunung Binaiya

Ekspedisi Polygon pada tahun 1999 ke gunung Binaiya mengambil rute lewat jalur utara. Tim Binaiya yang terdiri dari Kopassus bersama beberapa Mapala yaitu Palawa Unpad, Mapala UI, Aranyacala Trisakti, KMPA ITB, Perbanas, dan YAI memulai pendakian dimulai dari 0 mdpl (pantai). Setelah 3 hari kami tiba di Desa Kanikeh dimana dilakukan upacara adat.
Kemudian perjalanan dilanjutkan lagi sekitar 2 hari sampai di puncak. Selain lewat jalur utara, ada juga jalur selatan. Ada beberapa yang melintas, naik dari jalur selatan dan turun dari jalur utara atau sebaliknya.

Kita harus hati-hati jangan sampai kena jebakan warga yang dipasang untuk menjerat hewan. Cerita yang beredar dulu ada 2 suku dengan ikat kepala yang berbeda warna, biru dan merah. Warga Kanikeh ikat kepalanya merah, yang biru itu yang kanibal. Sebetulnya ini perlu dicari juga kebenaran informasinya, karena kalau benar, perlu hati2 kalau bertemu mereka ketika membuka jalur.

Terlepas dari mitos yang beredar itu, nyatanya penduduk Kanikeh ramah dan baik. Saat mau summit attack, mereka bertanya mau disediakan apa setelah turun gunung dan balik ke Kanikeh. Kami sepakat mau disediakan daging rusa karena disana banyak rusa. Benar saja ketika turun dan kembali ke Kanikeh kami dijamu daging rusa dan singkong. Mereka punya ilmu yang tinggi. Saat mendaki gunung pada hari ketiga, sebelum sampai Kanikeh, kami bertemu perwakilan mereka yang sengaja turun dan mencari kami yang terkejut, mereka tahu darimana ada yang mau datang? Mereka menjelaskan, ada tanda alam artinya ada tamu akan datang.

Suku Huaulu yang menempati desa Kanikeh ini adalah suku asli Maluku yang sangat dihormati oleh seluruh penduduk Pulau Seram. Walaupun banyak yang menyebutkan bahwa mereka dahulu adalah kanibal, namun kenyataannya di masa modern ini mereka adalah pribadi yang ramah, senang bercanda dan sangat menghormati alam. Suku Huaulu memang tidak terlalu terbuka terhadap perubahan modern, namun mereka sangat mencintai damai dan berusaha menerima siapapun yang ingin mengenal mereka lebih dekat lagi. Suku Huaulu adalah contoh sejati kearifan lokal yang dimiliki Indonesia Timur dan perlu untuk dijaga kelestariannya dari hari ini hingga masa depan.

Dulu jalur utara dua kali melalui jalur laut. Yang pertama ke Pulau Seram menggunakan speed boat selama 3 jam. Beberapa kali ada yang muntah-muntah karena ombaknya tinggi. Yang kedua menggunakan long boat sekitar 30 menit sampai 1 jam, letaknya agak di pinggir. Hanya jika perahu terbalik, barang-barang bisa tercebur.

Saat pendakian kami melewati beberapa sungai besar, hujan tidak terlalu besar. Jadi masih aman dan mudah menyebrangi sungainya. Perihal trap yang dipasang penduduk, biasanya mereka akan menandai daerah yang dipasang trap, kalau dulu ditandai dengan kayu yang dipatahkan. Kalau trap buat burung masih aman, namun telinga kita bisa terjerat. Trap buat babi dan rusa yang mungkin harus diwanti-wanti. Di jalur Utara Binaiya ini banyak pacet sepanjang perjalanan khususnya 3 hari pertama. (Agung Nugraha)