Mengawali Diklat dengan Longmarch Gunung Tilu ke Situ Patengan

Penulis : Bayu “Jabir” Era Sandera/BG – Bentar Giri

Setelan kami seperti serdadu yang siap tempur di medan perang. Topi rimba, baju dan celana lapangan, sepatu lars, semua lengkap kami kenakan, hanya senjata api tidak kami bawa. Selepas upacara pemberangkatan, kami menuju  truk pasir yang akan membawa ke satu tempat yang entah di mana. Baru saja mencoba berjalan 5 menit, dari kampus menuju tempat truk berada, rasanya pundak ini sudah tidak kuat menahan beban. Ransel saya perkirakan seberat 25 Kg. semua perbekalan selama latihan di lapangan kami satukan dalam carier. Semuanya, ya semuanya, semua barang harus bisa masuk ke dalam carier seukuran 60 Liter. Hanya matras yang (sengaja) dibiarkan berada di luar.

Setelah lebih kurang dua jam perjalanan, jalan yang dilalui truk terasa mulai bergeronjal sehingga semua yang ada di atasnya pun ikut bergoyang. Saya mencoba menebak-nebak, kira-kira ini di mana? dan truk melewati tanjakan berbatu yang cukup curam. Itu pun saya tafsirkan dari keadaan di dalam bak tempat para siswa duduk begitu saja di lantainya. Di bagian ini dengan semangat para pelatih bernyanyi lagu-lagu mars palawa sehingga beberapa dari kami, para siswa, yang sempat tertidur menjadi tergugah bangun.

Sesekali saya mencuri-curi pandang dengan maksud sekadar untuk mengetahui sebenarnya kami ini akan dibawa ke mana. Saya dipenuhi rasa penasaran, mungkin siswa lainnya juga. Hal tersebut tidak bisa saya pastikan karena di dalam bak truk itu kami, para siswa, mulai mendapat intimidasi agar tidak saling “ngobrol”. Namun di antara siswa ada beberapa yang masih menyimpan keberanian sehingga saya dan mereka masih terus berkomunikasi dengan cara saling berbisik. Di perjalanan itu saya, mungkin juga kami, mulai terus bertanya-tanya: kegiatan seperti apa yang sudah menanti kami di sana, di tempat truk ini akan berhenti, nanti.

“Kawasan Gunung Tilu”, begitulah papan penunjuk jalan yang masih sempat terlihat. Di manakah itu? Meski saya sejak kecil tinggal di Bandung, namun nama tempat tersebut masih asing dan tidak memiliki referensi di dalam otak. Gunung Tilu. Gunung Tilu. Unung Tilu… saya terus mengulang-ulang nama tersebut sebatas untuk mengingat sekaligus berharap ada secuil ingatan yang berkaitan dengan nama yang terasa asing: Gunung Tilu, di mana itu? apa masih di dalam Bandung ataukah….

Instruksi pelatih pun mulai terdengar. Kami diperintahkan turun dari truk. Saya masih ingat, saat itu kira-kira pukul empat sore. Matahari mulai sedikit condong ke barat. Satu persatu kami turun sambil menyandangkan carier di punggung masing-masing.

Instruksi berikutnya, kami diminta untuk segera makan siang. Begitulah, sebelum berangkat dari kampus Dipati Ukur, kami sudah membungkus nasi dan lauk-pauknya. Pagi itu kami semua bersama-sama mendatangi sebuah warung sunda yang berdiri dekat kampus. Kebetulan pemilik warsun itu adalah “teman” PALAWA yang bukan kebetulan kuliah di Jurusan Antropologi. Semua siswa membawa bungkusan nasi yang dibeli dengan harga miring.

Semua bungkusan dibuka, semua mulut berusaha memakan apa yang sudah terhidang di depan kami. Entah mengapa, sore itu kami mulai kehilangan selera makan. Entah ke mana itu nafsu menghilang? Bukankah sejak sarapan pagi tadi perut kami sama sekali tidak terisi apapun? Pelatih mulai mengeluarkan kalimat-kalimat keras bernada tegas agar kami semua menghabiskan bekal nasi bungkus yang sudah dibeli. Saya memperhatikan wajah-wajah teman sesame siswa yang jumlahnya 20 orang itu. Saat itulah saya baru tersadar bahwa wajah mereka semua sudah begitu suram dan murung. Apakah mereka sudah kehilangan semangat berlatih ataukah hanya karena perjalanan yang melelahkan sehingga wajah-wajah itu, ah….

Hari pertama. Setelah meninggalkan kampus dan mendatangi lokasi latihan, akhirnya setelah sampai, pergerakan dibuka dengan dengan Longmarch. Kami melewati jalur perkebunan teh dengan jalan berbatu yang disusun rapi. Di samping kanan-kiri terpapar gundukan-gundukan bukit yang ditumbuhi pohon teh. Kami dua puluh orang berjalan, berjajar, sambil bernyanyi. Barisan kami dipimpin oleh seorang yang dipanggil Danlas; itu singkatan dari Komandan Kelas. Ia berada paling depan sambil membawa bendera kuning yang sudah kusam. Kami menyebut bendera itu dengan nama “bendera siswa”.

Perjalanan kali itu terasa sangat membosankan; juga menyebalkan. Bagaimana ini? Bukankah ini baru hari pertama? Berapa hari kami akan terus begini? Menjalani hari latihan dengan perasaan yang dipenuhi kerikil-kerikil kebosanan yang terus menumpuk mengisi dada dan pikiran kami. Namun kami terus berjalan. Berjalan sambil bernyanyi dan sesekali menjawab pertanyaan-pertanyaan iseng dari para pelatih. Beberapa kali angin kenyang menerpa wajah dan badan kami yang mulai letih menjalani latihan.

Saya melihat wajah pelatih semakin berubah. Entah bagaimana bisa keadaan wajah itu menjadi lain seolah tidak lagi dapat saya kenali. Apakah selama latihan di kampus dalam sesi Pra Medan Operasi mereka memasang topeng kamuflase ataukah justru saat ini mereka sedang bertopeng? Entah, saya belum bisa menarik simpulan atas pertanyaan semacam itu, saat itu. Telinga saya selalu mendengar suara pelatih yang selalu memberi komando dan instruksi, “Tetap KON-SEN- TRA-SI TUAAN!!!”

Tidak jarang kami mengulang-ulang nyanyian yang sepertinya semakin tidak berarti. Keadaan tubuh yang lelah seharusnya bisa kembali segar dengan nyanyian, begitu teorinya, namun saat itu, ketika kaki semakin sering tersandung bebatuan yang keluar dari susunan atau peluh seolah tidak mau reda mengalir dan mengalir, saya dan mungkin juga kami, semakin tidak mampu memaknai lagu-lagu yang secara ritmis terus dinyanyikan. Saya mulai sering mengumpat dalam hati, “Ini bagaimana, saat napas sedang ngas-nges-ngos dan kesang badag tidak juga mereda, eh justru selalu diminta untuk menyanyi dan menyanyi.”

***

Matahari semakin jatuh di barat, meninggalkan gelap dan baying-bayang. Kami hanya istirahat sebentar di pengujung senja. Setelah sedikit mengendurkan otot dan bernapas lega, perjalanan pun kembali dilanjutkan. Rasanya kami sudah tidak kuat untuk terus melanjutkan. Boleh jadi di dalam hati kami semua terbetik emosi sesaat untuk mengakhiri kegiatan latihan ini. Suara bisikan terkadang keluar dari teman yang ada di barisan belakang, “Diklat kok begini banget ya. Bukannya sehat tapi justru bikin sakit kalao kayak gini latihannya.” Saya diam dan menahan senyum. Lumayan juga. Seloroh semacam itu justru bisa sedikit menaikkan kembali semangatku yang terasa semakin ngedrop. Meski udara dan angin terasa semakin dingin, namun dari tubuh kami masih saja mengucur keringat yang aromanya semakin akrab di hidung.

“Perjalanan masih jauh Tuan-tuan,”

“Siap! Masih jauh…”

“Artinya?”

“Jalan teruss!”

“Baguuss!!!”

Entah berapa jam kemudian, akhirnya pelatih member kami waktu rehat yang juga tidak panjang. Dalam kesempatan itu kami dikomandoi untuk segera melepas carrier dan meminum air dalam vedpless masing-masing. Seharusnya itu kami anggap biasa-biasa saja, namun saat itu betapa instruksi pelatih terasa sangat melegakan. Kerongkongan kami kembali teraliri air segar dan kaki kami bisa sejenak diistirahatkan.

Seseorang mendapat teguran keras saat sedang minum. Pasalnya ia tidak menghiraukan pesan pelatih agar meminum air sebanyak dua tutup veldpless saja. Mungkin karena kepala batu atau karena nafsu, segera mulut botol dia masukkan ke dalam mulut sehingga air menggelontor masuk melintasi tenggorokannya. Ulahnya itu mendapat sanksi dari pelatih, bahkan saya mendengar pelatih berkata tegas kepadanya, “Jangan sampai diperingati oleh pelatih Tuan. Tajamkan pendengaran, jangan melamun.” Mendengar kalimat tegas pelatih membuat kantuk yang memberati mata saya hilang entah ke mana. Perjalanan kembali dilanjutkan. Batu-batu jalanan sudah tidak terlihat, sedangkan malam semakin larut, dan langit tanpa bulan juga bintang.

***

Fajar meyingsing meski kami sama sekali tidak mendengar kokok ayam jantan. Udara terasa sangat dingin dank abut membeku menghalangi pandangan. Malam tadi kami menghabiskan waktu dalam kegiatan longmarch, kemudian fajar datang dan kini kami baru saja tiba di lokasi yang dituju. Keadaan saat itu baru terang tanah. Masih lumayan gelap belum lagi ditambah kabut pekat yang menyerupai dinding rumah jepang. Mulanya kami masih asing dan mengalami disorientasi medan. Entah berada di mana. Pertanyaan itu terasa kurang relevan mengingat keletihan yang sudah sampai di puncaknya. Samar terlihat pohon-pohon the dan gunduk bukit. Seolah kami tidak bergerak. Lanskap masih sama dengan sore kemarin… Satu hal yang menjadi focus perhatian kami antara lain adalah istirahat, meluruskan badan dan kaki dalam tidur –kalau bisa sampai nanti malam. Rasanya belum pernah saya merasakan letih yang melebihi pagi itu.

Instruksi kembali keluar dari mulut pelatih. Tidak lebih dari enam orang pelatih yang mengawal perjalan kami sejak kemarin sampai dengan pagi ini. Para pelatih masih terlihat segar meski seperti juga kami, mereka tidak tidur sepanjang malam. Komando pertama setelah sampai di tempat tujuan adalah membangun bivoac (baca: bivak). Di tengah keadaan lelah dan semalam begadang sambil berjalan, saya mengalami kesulitan saat membangun bivoac. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menuntaskan apa yang diinstruksikan. Seiring aktivitas membuat bivoac waktu terus merambat dan matahari bergerak naik. Kabut yang tadi membeku selanjutnya hilang entah ke mana. saat itulah saya baru menyadari bahwa kami kini berada di tepian sebuah danau besar. Ada sejumput kesegaran yang menyelusup masuk ke hati saat menikmati pemandangan alam yang terbentang mengelilingi kami. Subhanallah, seperti tanpa sadar saya berucap pelahan, memuji Pencipta keadaan alam, sejak dulu dan sekarang.

***

Seperti baru saja terlelap saat bunyi peluit panjang terdengar, “Priiiiiiittt….” Dan itu menjadi tanda bahwa kami yang saat itu sedang rebahan di dalam bivoac segera bangkit dan mendatangi sumber suara. Ah, rasa ngilu dan pegal di seluruh tubuh masih mendera. Tidur yang sangat singkat tadi terbukti tidak mampu mengusir semua keletihan yang menumpuk sejak kemarin.

Rupanya, setelah berbaris rapi di depan pelatih yang membawa peluit, kami diminta untuk segera memasak makanan dan minuman untuk sarapan. Sarapan? Apakah itu berarti ini hari masih pagi? Apakah waktu di sini menjadi mati dan tidak berputar? Entahlah, satu hal yang kurasakan, saat itu cuaca masih sangat dingin. Pori-pori di tangan terlihat bagai ayam negeri yang beres dikuliti. Ada bintil-bintil yang menunjukkan bahwa udara memang dingin, bahkan sangat dingin.

***

Tidak tahu berapa kilometer telah kami lewati, yang jelas kami telah berada di satu tempat di sesudut perkebunan teh. Dan di ujung sana situ patengan masih tetap berselimutkan kabut yang mulai menipis memperlihatkan permukaannya yang tenang dan menyimpan air dingin yang membuat gigil berkepanjangan. Kami mengeluh, ya kami mengeluh saat itu, karena ternyata perjalanan ini cukup menggerus tenaga dan mental kami. Dalam kondisi fisik yang (menurut kami) hancur digerogoti letih, ditambah beberapa bagian tubuh kami mulai mengalami luka lecet di telapak kaki, tumit, ujung jari, atau salah urat di punggung akibat ransel murahan dan packing yang “tidak benar” menambah deret persoalan yang membuat Diklatdas menjadi tidak nyaman.

Kami sudah makan dan minum. Sebelumnya kami melaksanakan binjas (bina jasmani). Hal yang menurut saya gila adalah perintah bagi siswa lelaki agar takmenggunakan kaos lapangannya. Tidak bisa tidak, saat itu kami semua berseloroh kompak, “Gelo ieu mah, euy!” bagaimana tidak, di bawah cuaca rendah sekita Situ Patengan kami harus berolah raga pagi dengan dandanan seperti ini: bertelanjang dada, bertopi rimba, bercelana cargo yang bagian bawahnya masuk ke dalam sepatu lars militer, dan (bagi danlas) membawa-bawa bendera siswa yang “kuning kusam” itu.

Sebelum memulai binjas pelatih menanyai kami apakah kami masih semangat melanjutkan acara Diklatdas ini. Jelas kami semua menjawab, “Siap! Masih semangat Kang!”Apakah kami diperbolehkan untuk menjawab “sudah tidak semangat Kang”, atau “Bosan Kang!” apakah dengan mengajukan jawaban seperti itu kami masih bisa selamat? Tidakkah itu berarti kurang ajar? Sungguh, saya masih selalu senyum bila mengingat sekuen demi sekuen peristiwa Diklatdas yang terjadi hampir sembilan tahun yang lalu itu. Pagi itu kami mendapat jatah binjas dengan porsi penguatan otot kaki, tangan, perut, dan bahu. Sebetulnya tidak cuma bagian-bagian tubuh yang disebut itu yang mendapat tekanan; sejujurnya, binjas pagi itu berhasil membuat seluruh persendian tubuh saya juga yang lainnya terasa remuk redam. Saat itu kami sempat berpikir bersama, “Apakah besok kita masih bisa menikmati cahaya matahari pagi? ataukah….”  Ah, Diklatdas bagi kami saat itu benar-benar menjadi “ujian penting” yang harus dilalui jika kami masih ingin menjadi anggota perhimpunan keren yang sudah sejak lama kami intip dan bidik.

Teruntuk semua saudaraku Angkatan Bentar Giri:

Renaldi Bangun Sugito, Reno, Halomoan Sipayung, M Dicky Firmansyah, Desy P, AneuA, Nani Euis Maung, Ade Sugesti, Salman Gozali, Dede Domba, Rully Grind Core, ZeniKawat, Ahmad Sastra, Rusda Bidan, Deny “Batu” Yogaswara, Idhar Sutisna, Dinan, Alip “Cengos” Suta Manggala.