In Memoriam Diki Tresnawan
(Angkatan Mapak Rawa PALAWA UNPAD)
Mengenangnya saya ingat gunung hutan dan jeram sungai. Dua tempat tadi kesannya mendalam dan di persaudaraan tanpa batas garis keras Palawa Unpad saya dipertemukan.
Di gunung hutan ia orang paling rajin menyamankan shelter dan saya merindukan kehadirannya. Baginya, shelter itu bukan sekedar tenda berdiri dan api menyala buat bermasak, tapi tentang menyamankannya. Dengan golok tebas tramontina kesayangannya, yang diberi nama ‘sinbad’, ia akan selalu bergerak membuat infrastruktur pendukungnya. Keberadaannya di gunung hutan membuat base camp dilengkapi sarana penunjangnya. Hingga tidak salah bila di sekitar terdapat jemuran buat mengeringkan pakaian lapangan basah, tempat sampah dari plastik packing yang diikatkan sedemikian rupa dgn cantik di pepohonan, dan bebangkuan dari bekas pohon tumbang yang melingkari tumpukan kayu api untuk unggun, ia pasti pembuatnya.
Baginya, sheltering gunung hutan, adalah replika suasana di rumah, yang lengkap dan harus menyamankan penghuninya.
Seringkali ia tiba-tiba menghilang di base camp saat kita hendak menyiapkan makan. Lalu datang tiba-tiba dari kelebatan dengan golok sinbad di satu tangan, tangan lain penuh dedaunan sayur mayur produk hutan. “Ini pakis hutan bang dod, ini jamurnya, ini jantung pisangnya” Ujar ia sambil mengajarkan dan menceritakan darimana hasil hutan non kayu tsb ia dapatkan. Makan pagi, siang, dan malam di gunung hutan jadi sehat dibuatnya.
Di jeram sungai ia orang paling tenang bertindak dan paling berani. Pernah suatu ketika, saat pengarungan Sungai Cimanuk, perahu karet kami harus melintas jeram panjang yang tiba-tiba bertingkat kesulitan yang tinggi gara-gara hujan lebat di hulunya. Akal sehat menyimpulkan jeram itu tak layak dilalui. Tapi ia, saat itu jadi skipper (kapten pengendali laju perahu), menyakinkan kami untuk terus melanjutkan pengarungan. Saya di perahu karet itu bersama saudaraku yang lain, sempat ragu dan hilang nyali. Namun ia memberi jaminan, “maju weh, nu penting dayung sesuai instruksi” Ujarnya. Kami pun lolos menembus jeram-jeram yang tiba-tiba bandang oleh hujan saat itu.
Di saat pengarungan sungai lainnya ia orang yang akan melompat pertama ke sungai untuk menolong rekan. Di saat perahu flip terbalik ia yang pertama mengejar perahu dalam derasnya jeram untuk membalikannya kembali. Keberanian ia di jeram sungai ada di atas rata-rata. Saya selalu merindukan seperahu mengarungi jeram dengannya.
Itu kisah tentangnya 20an tahun yang lalu. Saudaraku seperhimpunan tersebut, orang paling rajin dan berani, kini bersemayam di pusara kaki perbukitan bandung utara. Tuhan telah memanggilnya.
Selamat jalan Diki Tresnawan (42 tahun) dan tetap tabah buat istri dan keluarga yang ditinggalkan.
~ PLW 24382067 KP