PELNI berdiri setelah Pemerintah Belanda menolak permintaan Pemerintah Indonesia untuk mengubah status NV Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) menjadi perseroan terbatas. Sebagai maskapai pelayaran Belanda yang beroperasi di perairan Indonesia, NV KPM juga menolak untuk memakai bendera Indonesia. Karena armadanya hanya sedikit, Pelni pun mencarter kapal-kapal asing untuk mengisi trayek yang ditinggalkan KPM. Selain itu, Pelni juga menambah jumlah armada dengan kapal-kapal hasil pampasan perang dari Jepang dan memesan kapal-kapal baru.
Sebagian besar armada kapal dibangun oleh galangan kapal di Jerman. Kabin penumpang umumnya dibagi menjadi kelas 1, kelas 2, kelas 3, dan kelas ekonomi. Kabin terbaik adalah kelas 1A diikuti dengan kelas 1 B, kelas 2A, kelas 2B, kelas 3, dan kelas ekonomi. Penumpang kelas ekonomi tidur beramai-ramai di sebuah kamar yang dilengkapi kasur. Di dalam kapal terdapat rumah makan, kafetaria, toko kelontong, bioskop mini, arena pertunjukan musik, dan musala.
Bulan September 1994, berenam yaitu Kupil, Opik, Bar, Dodi, Firkan dan Wawan sedang dalam perjalanan dari Tanjung Priok ke Pontianak. Kapal yang ditumpangi adalah KM bukit Raya yang melayani trayek Jakarta-Pontianak. Mereka tampak sangat terkesan dengan suasana kapal penumpang itu, walau hanya bersarang di kelas ekonomi, seperti biasa.
“Alus nya kapal Bukit Raya mah,” gumam Bar,” teu cara basa meuntas ka Sulawesi.”
“Tempat sare na oge lowong,” cetus Wawan puas. Kabin kelas ekonomi yang dirasa sesak kala menyeberang ke Sulawesi dua bulan lalu sungguh sangat berbeda dengan kondisi KM Bukit Raya ini. Tampaknya kapal ini masih baru atau setidaknya masih dalam pemelharaan, hal tampak dari beberapa teknisi bule yang sering dijumpai menginspeksi beberapa penjuru kapal. Perjalanan mereka masih dua hari lagi, namun semua terbuai dengan suasana pelayaran yang menyenangkan kala itu dengan KM Bukit Raya. Tak berapa lama, sebagian sudah ngorok dibuai alunan kaset John Denver dan Ebiet G.Ade yang dibawa Firkan
Armada PELNI merupakan andalan untuk mencapai pulau-pulau diluar Jawa. Kala itu tak ada cerita memakai pesawat terbang yang tiketnya dirasa mencekik untuk ukuran mereka. Kini sungguh berbeda, amat jarang saya mendengar rombongan mahasiswa yang memilih kapal laut dengan alasan harga tiket tak terpaut terlalu jauh dengan pesawat. Padahal dalam pelayaran itulah para petualang ibarat menceburkan diri kedalam lautan petualangan lain yang jauh lebih kaya dibanding hanya duduk selama dua jam di kabin pesawat.