Naik Gunung Turun Gunung… Demi Cinta!

374906_288319497867753_569666012_n
by Bayu Ismayudi

Naik Gunung Turun Gunung …Lu kira kaga’ cape? Itulah bunyi tulisan yang biasa anggota Palawa lihat di kaos-kaos yang sering dipakainya. Mungkin makna dari tulisan itu sekadar ingin mempertanyakan, “Mengapa kita tidak pernah kapok melakukan kegiatan itu?”

Walaupun sudah jelas bakal menguras tenaga, bikin kita lapar, bikin kita kepanasan dan kedinginan, bahkan bisa bikin kita hipotermi, pokokke bikin kita ngaplek, tapi kita tidak pernah jera. Ini adalah pertanyaan untuk diri kita sendiri!

Kalau ada orang yang mempertanyakan hal tersebut, mungkin akan mengundang beragam jawaban, seperti entah itu karena hobi, mencari kepuasan batin, karena melambangkan kegagahan, killing time, atau pelarian.

Terlepas dari jawaban itu semua, yang jelas ketika kita melakukan kegiatan outdoor –seperti mendaki gunung, arung jeram, susur gua, dan panjat tebing– semua itu kita lakukan dengan enjoy, tanpa beban. Rasa capek kita terobati oleh senda gurau dengan saudara-saudara kita selama di perjalanan. Alangkah indah ketika kita duduk-duduk di depan tenda di malam hari di tengah belantara ditemani secangkir kopi wangi dan batangan rokok. Alangkah indah ketika kita masak dan makan bersama. Alangkah indah suasana seperti itu dan itu salah satu yang membuat kita ketagihan yang kadang membuat kita lupa dunia di luar kita.

Ada lagu yang sering kita nyanyikan waktu kita diklat dulu,“Naik gunung turun gunung, tempuh rimba menembus kabut, malam hari kedinginan, Palawa tetap bertahan….”

Apa yang membuat kita bertahan? Karena takut digampar Si Akang atau Si Teteh? Terus mengapa kita rela menyediakan waktu kita untuk mengikuti diklatdas walau sebagian besar sudah mengetahui bakal ada ‘gamparan’? Terus setelah usai diklat, kita melakukan kegiatan yang sama, ke gunung lagi, arung jeram lagi, susur gua lagi, panjat tebing lagi. Lalu mengapa sebenarnya kita melakukan semua itu. Tak bisa dipungkiri itulah yang dinamakan “cinta.”

Ketika kita mencintai seseorang atau sesuatu, kita rela melakukan apa saja. Kita akan marah, malah rela berantem ketika ada orang yang menghina dan mencemooh apa yang kita cintai. Ya! Itulah cinta!

Kita rela memberi apa saja untuk yang kita cintai, termasuk nyawa kita sekalipun. Seorang pendaki rela mengobankan nyawa demi cintanya pada obsesi menapakkan kakinya di sebuah puncak gunung, seorang rafter rela hanyut dan mempertaruhkan nyawanya demi obsesinya menaklukkan jeram.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita menjalani hidup ini pun demi cinta, cinta pada kehidupan itu sendiri, walau kadang kehidupan itu sendiri tidak membalas cinta kita. Sehingga timbul ungkapan “Mencintai tidak harus memiliki.” Ketika hal itu terjadi pada diri kita, timbul pertanyaan, “Mengapa kita harus mencintai yang tidak bisa kita miliki?”

Mencintai Sang Maha Pecinta

Mengapa kita kadang rela mencintai sesuatu atau seseorang yang tidak membalas cinta kita? Yang tidak bisa kita miliki? Padahal ada cinta yang selalu membalas cinta kita dan bisa dimiliki?

Ya! Sang Pemurah, Sang Penyayang, Sang Pencipta, Sang Maha Pecinta. Dialah yang selalu memberi dan membalas cinta kita, walau kadang kita lupa untuk mencintainya. Dialah cinta sejati yang bisa kita miliki sampai mati, bahkan hingga kehidupan sesudah mati. Bahkan Dia menyatakan cinta-Nya pada kita dengan mengatakan, “Jika kamu mendekati-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatimu dengan berlari.”

Itulah cinta sejati, cinta yang selalu memberi tanpa pelu menerima. Itulah hakikat cinta. Mencintai Sang Maha Pecinta !

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan, hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
(QS : Al-Mulk : 15)

Bumi sudah diciptakan, ditaklukkan, dan dimudahkan untuk kita terus disediakan pula rezeki yang berlimpah untuk kita. Kita diberi segalanya tanpa harus kita mengembalikan atau membalasnya. Lalu apakah tidak layak bagi kita untuk mencintai Dia Sang Maha Pemberi ini?