Setelah beberapa lama aktif dalam perhimpuanan, para siswa kita yang bandel itu menjadi pelatih. Kini merekalah yang merasakan peliknya mengurus diklat itu. Beberapa hari ini mereka melakukan longmarch yang dimulai dari Bukanagara menuju Jatinangor. Kini posisi rombongan sedang menuju desa Palintang dengan longmarch diatas jalanan koral, berharap dapat mencapai lokasi paling telat saat magrib. Inilah pertama kali jalur Bukittunggul ke arah Manglayang lalu kemudian dilanjutkan menuju Jatinangor mulai digunakan dalam diklat.
Di saat yang sama sebuah rombongan aplusan datang dari arah Ujungberung menuju ke arah desa Palintang. Mereka terdiri dari Bar, Luthfi dan sang wild chef Dunga. Selain membawa logistik mereka juga membawa tim medis dari AMP FK Unpad. Jangan tanya bagaimana semuanya bisa masuk kedalam Jimny Katana GX warna putih yang dikendarai Luthfi. Namun kendaraan operasional ini akhirnya terpaksa parkir di rumah penduduk karena jalan semakin hancur dan karena bukan berpenggerak 4×4 mobil tak bisa lebih jauh.
Logistik dibagi berdua Bar dan Luthfi, sementara Dunga dengan insting danpurnya membawa sebuah tabung elpiji.
“Cenah mobil bisa nepi Palintang jadi urang mawa tabung elpiji keur masak,” Dudung kesal karena ketempuhan membawa tabung elpiji yang berat.
“Enya tim survey na teu baleg,” ujar Bar pura-pura berpihak, padahal ia termasuk yang melakukan survey. Ia segera mempercepat langkahnya menjauhi Dudung.
“Gantian engke nya,” ujar Dudung kepada Luthfi.
“Hiss..ieu urang mawa oleh-oleh jang barudak. Nke lah maneh kabagean,” kata Luthfi sambil menunjuk sebuah tas hitam misterius.
Kedua rombongan bertemu selepas maghrib di lokasi basecamp di kaki gunung Manglayang. Tim aplus disambut hangat oleh the grand army karena tahu berarti ada supply logistik baru. Dan memang mereka tak salah karena tim aplus membawa tiga ekor ayam untuk dibakar. Hanya Dudung yang masih tampak belum ikhlas menerima kenyataan harus memanggul elpiji.
“Saha ieu nu survey, ngagawekeun urang wae..teu baleg..” ujar sang danpur masih kukulutus. Tampaknya setelah dua tahun ia belum juga hapal kelakuan teman-temannya. Wawan, Bais dan Dodi sebagai tim survey segera menyingkir dari area dapur sementara Bar menahan cekikikannya.
Walau kesal Dudung masih menampakkan sulap ajaibnya di dapur. Tak berapa lama kemudian aroma ayam bakar mengiang di areal base camp. Tak makan waktu lama pembantaian ayam-ayam itu selesai, karena semua sudah kelaparan. Setelah makan selesai barulah Luthfi membuka tas hitamnya yang misterius itu. Ternyata sebuah handycam, namun isi filmnya lah yang lebih berharga.
“Mmmm…mmmh..” Dudung tampaknya sangat menikmati. Ia sudah bisa menerima kompensasi kelelahannya dalam erangan-erangan itu.
“Glek..,” Wawan tak terhitung menelan ludah melihat tayangannya.
“Giliran euy,” Bais selalu tak sabar kalau mengenai adegan syur.
“Eits, urang heula,” Opik tak kalah gesit dalam hal ini.
Bano juga tak sabar melihat film, namun gilirannya masih jauh. Hasil drawing membuatnya di urutan terakhir, maka ia hanya bisa gigit jari. Setelah satu jam menunggu, akhirnya handycam itu sampai juga ketangannya. Sambil berbinar-binar ia bersiap menonton tayangan yang telah membuat yang lain meneteskan air liur. Tepat ketika Bano akan melihatnya, tiba-tiba handycam mati kehabisan batere karena dinyalakan terus.
“Anjirrrr…guoblog…!” teriaknya geram dengan mata nanar, padahal ia sudah horny dari tadi.
“Ini sabotase.. saha nu nyabot? Hayo ngaku..! Gelut jeung aing,” Bano tak bisa menyembunyikan kekesalannya, sementara yang lain tertawa-tawa hingga kecapaian. Namun handycam tak bisa dinyalakan lagi, tak ada batere cadangan yang dibawa. Bano harus mengubur dalam-dalam imajinasinya malam itu.