One Fine Day in the Jungle  

 

Leuweung Tengah, Ranca UpasCara terbaik untuk membayar momen-momen yang indah  adalah dengan menikmatinya

(Richard Bach)

 

Jam menunjukkan telah lewat dari pukul sembilan malam ketika kami meninggalkan Bandung menuju Ranca Upas, Ciwidey. Hujan deras masih mengguyur Bandung sehingga saya cukup kuatir bila cuaca serupa mengguyur rawa-rawa Ranca Upas malam ini. Maklumlah perlengkapan yang dibawa tak pernah selengkap dulu lagi.

Setelah kemarin meninggalkan rutinitas kerja yang menjemukan di Jakarta, baru malam ini saya dapat meluncur ke Ranca Upas. Bagi saya momen yang tak sampai satu tahun sekali ini sekaligus sebagai ajang reuni bersama rekan-rekan. Rasanya ada aura yang berbeda bila reuni dilakukan di alam liar dibandingkan dengan reuni di kota atau tempat wisata. Bukannya sok petualang, namun reuni di hutan membawa saya lebih dekat menembus  sekelebat masa lalu. Saya kembali menemukan beberapa cita rasa yang hilang seperti aroma tanah basah, bau rumput dan suara-suara hutan.

 

Kembali ke hutan

Bahkan dengan memaksakan pergi ke hutan saya merasakan reuni tersendiri dengan karakter lain dalam diri. Sisa-sisa idealisme dan militansi masa lalu  saya temukan kembali. Tak hanya dalam diri saya, namun juga dalam diri sejawat yang lain. Dengan itulah dulu pola berinteraksi kerap terjalin  yang terkadang merupakan komunikasi tanpa sepatah kata sekalipun.

Menjelang pukul sebelas malam kami tiba di Ranca Upas dengan hanya gerimis kecil disana. Kabut tebal belum turun namun hawa dingin segera terasa menggelayuti kami. Beberapa sejawat tampak sedang menunggu di warung menghirup kopi atau wedang jahe. Selepas percakapan singkat yang hangat, rombongan kemudian bergegas merobos kelebatan hutan Ranca Upas menghindari guyuran hujan yang dapat turun setiap saat.

Terhambat lumpur, genangan air dan hujan, lebih dari setengah jam kemudian rombongan baru sampai di base camp Leuweung Tengah. Sekitar dua puluhan orang terlihat malam itu di basecamp  Beberapa mungkin sudah tertidur. Saya gembira dapat bertemu para sejawat yang sudah lama tak bersua. Hujan tak berlanjut hingga api unggun dengan setia menemani kumpul-kumpul malam itu. Percakapan hangat terus berlanjut hingga lewat pukul dua dini hari.

Karena  tak membawa tenda, bersama beberapa rekan saya melewatkan beberapa jam beristirahat di bivak alam yang berdinding daun honje dan pelepah pisang. Sebetulnya tak benar-benar bisa tidur karena dingin dan basah. Maklumlah sleeping bag yang ada harus berbagi dengan yang lain, karena banyak yang datang secara spontan tanpa persiapan. Kegelapan total di dalam hutan, hawa dingin yang mulai menusuk-nusuk dan rasa basah dalam bivak alam mengingatkan saya pada kondisi sekian tahun lampau. Toh akhirnya sempat juga tertidur hingga sedikit  terang di rawa mulai membangunkan kami satu persatu.

 

Kemewahan kecil

Menyeruput kopi panas kemudian sangat membantu memberi semangat di pagi yang dingin dan merupakan kegembiraan tersendiri. Jauh di dalam hutan, cita rasanya menjadi sungguh menakjubkan walau hanya kopi yang sama dengan yang sehari-hari ada di kota. Tapi sesuatu telah mengubahnya, melebihi menu-menu di  Starbucks sekalipun. Seraya menyeruputnya dalam-dalam, tiba – tiba saja saya tersadar bahwa selepas lulus kuliah saya tak pernah benar-benar terlibat lagi dalam kegiatan petualangan di kampus. Dan itu sekitar belasan tahun yang lalu.

Saya menatap beberapa rekan di samping seraya berbagi seruputan kopi panas yang mengepul-ngepul. Saya tersenyum kecil, menyadari bahwa kami  sudah tak lagi muda dan meledak-ledak seperti dulu. Beberapa diantara mereka merupakan rekan perjalanan sedari dulu yang kerap menemani di berbagai medan petualangan. Bersama merekalah kami saling mempercayakan nyawa di berbagai arena yang ekstrim. Sisa-sisa militansi itu tetap dapat saya rasakan kini. Saya buru-buru menghirup kopi untuk menyembunyikan rasa haru  aneh yang tiba-tiba saja menyeruak.

Sayangnya waktu yang kami miliki tidaklah lama. Beberapa harus bergegas pulang, hingga tak berapa lama kemudian sebagian segera packing, bersiap meninggalkan base camp Leuweung Tengah. Tak lama kemudian rombongan yang jumlahnya lebih dari sepuluh orang bergerak meninggalkan base camp, babaduyan* di pinggir rawa hutan menuju Ranca Upas. Gunung Tikukur masih berbalut kabut di sebelah kiri  tampak  sendu menyayangkan kedatangan kami yang singkat. Setelah sejenak makan, minum kopi dan istirahat di warung, rombongan pun berpisah dalam cuaca gerimis. See you in the wilderness next year..

Setiba di Bandung, saya tak punya waktu banyak beristirahat karena harus kembali ke Depok agar dapat segera memulihkan tenaga untuk bekerja rutin besok. Ah.., betapa saya tak menikmati terbitnya hari Senin untuk mulai kerja. Dalam perjalanan barulah saya merasakan capek dan kantuk yang menyemut. Namun  tak apa karena sebuah denyut adrenalin saya rasakan kembali setelah sekian lama. It was  one  fine day…  Waktu yang tak sampai 24 jam itu kembali saya maknai perlahan-lahan. Bila dibandingkan dengan rutinitas kerja sehari-hari yang kering, momen tersebut terasa sebuah kemewahan kecil yang penuh makna dan cukup menyelamatkan saya dari kebosanan hidup kota besar.