Pembangunan Pasca Bencana

R. Firkan Maulana

 

Di Pulau Simelue di Provinsi Aceh, saat tsunami datang, orang-orang berteriak “Smoong! Smoong! Smoong!” berkali-kali lalu mengajak orang-orang untuk pergi ke bukit. Tak heran, jumlah korban jiwa di Pulau Simelue Aceh pada saat itu terbilang sedikit dibanding wilayah Aceh lainnya.

Smoong berarti aba-aba agar pergi lari ke atas gunung dan bukit karena sebentar lagi akan datang air bah dari laut. Seusai gempa besar terjadi di Aceh, sesaat kemudian orang-orang Simeulue langsung memantau kondisi air laut. Begitu air laut terlihat surut, semua lari ke gunung dan bukit.

Di beberapa komunitas adat tertentu di Indonesia, perilaku binatang dijadikan sebagai alat peringatan dini tatkala ada bencana datang. Di masyarakat yang tinggal di pesisir selatan Indonesia, masyarakat mempunyai pengetahuan untuk menyelamatkan diri ketika gelombang tsunami datang menerjang.

Masyarakat tersebut mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam mengelola bencana sebagai warisan dari nenek moyangnya. Sebagai contoh, rumah-rumah kayu dan bambu adalah sebagai upaya refleksi dan tindakan masyarakat di beberapa lokasi di Indonesia untuk mengurangi terjadinya bencana oleh gempa.

Dalam kehidupan masyarakat kita saat ini yang semakin modern (terutama di kota-kota), kehidupan yang akrab dengan kondisi alam lingkungan sepertinya sudah tidak ada lagi. Tak heran bencana yang terjadi adalah sebagai akibat penyingkiran kehidupan masyarakat yang sengaja “memisahkan diri” dari lingkungan sekitar.

Sesungguhnya bencana yang terjadi bisa dimaknai mendalam sebagai kesempatan untuk menata kembali pembangunan yang akrab dan hidup beradaptasi dengan wilayah yang penuh bencana. Dalam proses pembangunan selama ini, faktor kondisi fisik geologis wilayah Indonesia yang rawan bencana seringkali dianggap sepele.

Misalnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dibuat hanya sekedar “rencana di atas meja saja”, bahkan masih banyak RTRW yang sesungguhnya “tak merencanakan” sesuatu di suatu wilayah yang rawan bencana. Dalam perspektif penanggulangan bencana, maka proses pembangunan harus saling terintegrasi antar bidang.

Selama ini, keterkaitan itu tidak ada. Contohnya, membangun hotel dan apartemen atau perumahan mewah namun lokasinya berada di lereng perbukitan yang asalnya berupa kawasan hutan untuk menyerap air. Tentu akibatnya nanti bisa menyebabkan terjadinya banjir di kawasan bawah karena berkurangnya serapan air di bagian atas.

Kita menjadi tidak peka terhadap kondisi fisik lingkungan sekitar kita hidup. Lingkungan yang kita tinggali sekarang akan selalu berubah dan tidak akan sama dengan hari kemarin. Sesungguhnya kita harus belajar pada masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah tertentu yang hidupnya masih akrab dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam memikirkan perencanaan pembangunan ke depannya pasca bencana, sangat penting sekali untuk mengetahui ke mana pembangunan akan diarahkan dan mengetahui cara mencapai arah pembangunan tersebut. Selama ini pembangunan yang dilakukan di Indonesia masih seperti biasa, yaitu pembangunan yang tidak berwawasan bencana. Indonesia masih dianggap sebagai negeri aman yang tidak akan pernah terjadi bencana.

Pelajaran penting yang harus diingat, merencana janganlah menghasilkan rencana yang sama dengan sebelumnya. Rencana pembangunan dengan perspektif berwawasan bencana adalah rencana mutakhir yang harus jadi pegangan dan ditegakkan pelaksanaannya. Pemerintah dan juga masyarakat harus berani membuat rencana baru pasca bencana, baik dalam proses pembuatannya maupun produk rencananya. Kalau rencana pembangunan selalu sama, jadi untuk apakah rencanai tu dibuat ?

Kondisi pasca bencana harus dilihat dengan perspektif yang berbeda sebagai suatu tempat kehidupan baru  yang harus dikelola dengan cara baru. Bila kita tidak melihatnya dengan perspektif yang berbeda, maka bisa jadi arah pembangunan pasca bencana akan kembali selalu sama seperti biasa tampak pada keseragaman wajah pembangunan kota-kota dan desa-desa di Indonesia selama ini.

Pelajaran penting lainnya adalah harus berani berubah. Dengan adanya bencana yang datang, maka kita harus berubah dalam menghadapi dan menjalani kehidupan ke depannya. Perubahan itu tidak dibatasi waktunya. Dan setiap waktu selalu berubah.

Dalam setiap bencana, kita berharap selalu hadir kecerdasan-kecerdasan baru dalam proses pembangunan. Rusak, hancur dan bangkit kembali adalah sejarah perjalanan kehidupan manusia yang senantiasa berulang.

Merencana dan mengelola hidup di negeri bencana bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan proposal, cetak biru rencana dan target angka-angka jumlah rumah dan infrastruktur yang dibangun, namun melainkan bagaimana kita mengubah cara berpikir dan tata kelakuan. Albert Einstein menyatakan: “Bahwa kita tidak dapat memecahkan masalah dengan menggunakan cara berpikir yang sama ketika terjadi masalah tersebut.”

 

~ Penulis pernah mengalami masa berharga bersama masyarakat dan pemerintah Aceh dalam melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca gempa dan tsunami dari 2005-2009.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Mengelola Hidup di Negeri Bencana“,  29 September 2018