Saat terindah kala mendaki gunung adalah…
Melihat awan bermunculan dari bawah kakimu
Jiwamu terbang ke angkasa
Sementara ragamu masih menjejak bumi
Ini sepertinya hanya akan menjadi curahan hati dibanding sebuah catatan perjalanan. Tak banyak yang saya ingat mengenai detil perjalanan pendakian gunung Rinjani lebih 20 tahun lalu, tepatnya tahun 1993. Kecuali, saat duduk di bawah pohon pinus dan memandangi awan di bawah kaki saya.
Pemandangan yang sangat menakjubkan yang pernah saya lihat. Bukannya saya belum pernah mendaki gunung sebelumnya, atau melihat pemandangan awan berserakan yang indah. Sebelum ke Rinjani, kami bertujuh, telah mendaki gunung Tambora. Tapi, bagi saya, di bukit penyesalan itu rasanya berbeda.
Dodi, teman sependakian yang kebetulan sudah pernah menaiki Rinjani sebelumnya, menjelaskan bahwa setelah menginap di pos terakhir yang ada sumber airnya, pendakian akan dilanjutkan melalui delapan bukit penyesalan. Nanti akan ada delapan bukit yang terus menanjak. Naiiikkk, turun sedikit, naiikkk lagi, turun sedikit, naiikk lagi, sampai delapan kali.
Memang benarlah apa yang dikatakan Dodi. Betul-betul menanjak. Bedanya di Rinjani dengan gunung lain, barangkali cuacanya. Waktu itu kami mendaki di musim yang panas. Pepohonan pinus di sini tak begitu rapat. Saat matahari terasa begitu panas, satu detik kemudian tiba-tiba udara menjadi sangat dingin karena angin meniupkan awan di sekitar kami. Itu lantaran kami sudah mencapai ketinggian di mana awan berkumpul. Panas dingin panas dingin.
Menanjak, turun sedikit, menanjak lagi. Begitulah delapan bukit penyesalan.
Selain beratnya tanjakan, sebenarnya ada juga yang membuat saya sedikit agak kesal. Saya selalu tertinggal di belakang. Apalagi saya perempuan satu-satunya.
“Duh Dodi mentang-mentang sudah pernah naik Rinjani, langsung ngacir aja naik duluan, yang lain ditinggal.” Saya hanya bisa kesal dalam hati saja waktu itu, baru sekarang saya tulis, he he he.
Soal ketinggalan di belakang sebenarnya bukan terlalu masalah juga bagi saya. Seharusnya waktu itu saya tak harus kesal. Sudah menjadi kebiasaan, sejak diklat penerimaan anggota dulu, ketika berjalan saya selalu ditaruh di bagian paling depan. Ya, karena saya jalan paling lemot, alias lambat. Pada pendakian di Rinjani ini juga. Sebelum di bukit penyesalan, saya disuruh jalan paling depan.
Seperti kura-kura, selalu lambat, tapi saya berusaha untuk sampai. Taela….
Namun, di bukit penyesalan, saya mendaki paling belakang. Bahkan sempat akan mengambil arah jalan setapak yang salah, karena yang lain sudah mendahului di atas. Untunglah ada dua orang bule, perempuan dan laki-laki.
“Hei, here is the way…” kata mereka sambil menunjuk arah jalan yang lain.
Memang Rinjani ini lebih menjadi gunungnya orang bule dan Korea dibanding pribumi yang kebanyakan jadi porter. Saya hanya bisa tersenyum pada mereka.
Sebelum sedikit lagi sampai pada tempat di mana kami akan menginap setelah bukit penyesalan, Bayu dan Luthfi beristirahat dulu. Mereka sengaja membiarkan yang lainnya naik. Toh, nanti juga akan bertemu di atas. Jalur pendakian di Rinjani relatif lebih mudah dilihat karena sudah banyak yang melaluinya, sehingga tak akan tersesat.
Saat melihat Bayu dan Luthfi sedang duduk beristirahat berdua saya agak kaget juga. Sedang apa mereka berdua, apa mereka menunggu saya sampai naik? GR juga sih. Melihat saya tiba, mereka yang berdua sedang masak sop krim jagung kesukaan Bayu nyengir-nyengir kuda.
“Kenapa Bayu suka banget sih sop krim jagung kayak gini sih?,” kata saya dalam hati.
Sementara Bayu dan Luthfi memasak, saya beristirahat duduk menghadap ke arah bawah gunung membelakangi mereka. Saya melihat deretan pohon-pohon pinus di bawah saya. Saya melihat gumpalan awan di bawah. Saya begitu letih, cuaca panas, apalagi sebelumnya baru saja naik gunung Tambora, sedikit lagi ngejeprut. Untunglah saya bisa duduk sebentar di tempat teduh. Saat itulah pintu hikmah di langit bukit penyesalan terbuka.
MasyaAllah, saya tak pernah menyaksikan bumi yang seindah itu. Mungkin bukan mata saya saja yang melihat, tapi mata di hati saya. Begitu besarnya kuasa Allah menciptakan semua itu dan memberikan anugrah saya sepasang mata untuk bisa melihatnya. Allah memberikan saya kesempatan naik gunung satu dua kali, Alhamdulillah setelah bergabung dalam kegiatan outdoor membuat saya merasa lebih dibanding mahasiswi lain di kampus, yang hanya berlibur di seputaran rumah mereka.
Apalagi yang bisa saya lakukan selain mensyukurinya? Saat itu saya berujar dalam hati, “Ya Allah, kalau Engkau ambil nyawaku di sini, di antara keindahan ini…”
Lama setelah momen pendakian di bukit penyesalan itu, saya selalu merenungkannya. Bertahun-tahun berlalu setelah duduk di bawah pinus itu, saya masih mengingatnya. Pada kehidupan setelah lulus kuliah, bekerja, menikah, punya anak, saya tetap mengingatnya. Setiap kali ada masalah dalam hidup, saya akan mengatakan pada diri saya sendiri, ingatlah awan-awan di bukit penyesalan. Ingatlah kedamaiannya… dan masalah-masalah saya serasa ditepiskan.
Bukit penyesalan, tapi, saya tak pernah menyesal pernah mendakinya.
Sedang asyik-asyiknya saya bertafakur (istilah tafakur baru saya tahu sekarang-sekarang ini…), tiba-tiba suara Bayu dan Luthfi mengagetkan saya.
“Rin, tong sare!” teriak mereka.
Huh, siapa yang tidur, kata saya dalam hati. Saya tak menjawab, saya biarkan saja mereka ketawa-ketawa berdua. Itulah memang kebiasaan setelah menjadi keluarga besar pecinta alam, salah satunya suka mencandai teman. Ibarat sedang menonton film. Saat akan mencapai adegan paling romantis, tiba-tiba, prettt!!! Mati lampu.
Perjalanan turun gunung Rinjani lebih mengasikkan daripada pendakiannya. Bisa cuci mata. Turis asing bertebaran. Pulau Lombok memang sudah menjadi sebuah negara baru di dalam negara Indonesia. Banyak orang asing mendaki Rinjani dari jalur berbeda, bukan melalui bukit penyesalan karena lebih mudah dan teduh.
Sampai akhirnya kami telah turun dan beristirahat. Ada sebuah warung minum dengan teras dari bambu, berhias gantungan lonceng sapi di dindingnya. Saya lebih memilih duduk terpisah atau mengobrol dengan sepasang turis dari Jerman. Sementara anak-anak cowok bercanda dan saling meledek. Sesekali meledek saya yang katanya hanya minum es teh manis, sementara mereka memilih susu soda.
Kami meneruskan perjalanan menuju Mataram malam setelah pendakian itu. Naik bis kecil sesak. Saya duduk di tengah, sembari menanggapi obrolan si turis Jerman. Para cowok duduk di belakang,saling bercanda karena mereka harus duduk dekat kambing! Sayup tak sampai, karena rada capek, terdengar layunan lagu Iwan Fals dari speaker bus…”Pernah kita sama-sama susah, terperangkap di dingin malam…”. ***
Ririn Wulandari, PLW081KP