Sleeping Bag Darurat

1040480_10201556966068759_1668996897_oLokasi base camp di kaki gunung Manglayang terletak di suatu area bukit dengan pohon beringin besar yang rimbun sehingga terasa sedikit mistis. Sementara flying camp didirikan agak turun  ke arah sungai tempat siswa mendirikan bivak,  terpisah dari base camp yang merupakan konsentrasi berkumpulnya panitia dan logistik diklat.

“Rada hieum euy tempat teh..” gumam Willman memandangi pohon beringin besar disampingnya.

 “Aku agak merinding,” ujar Rina yang  terkadang seperti bisa merasakan aura gaib.

Malam itu ada pesta kecil berlangsung di base camp berupa bakar ayam yang dibawa oleh tim aplus yang baru merapat. Dalam gelap menyelimuti, udara dingin dan suasana sunyi pegunungan maka acara bakar ayam itu bagai sebuah pesta besar. Sebuah kelapangan dalam kesempitan, meminjam istilah Bais. Belasan panitia menyantap habis hidangan yang dirancang oleh komandan dapur Dudung.

Beberapa potongan ayam bakar lalu dibawa oleh panitia yang akan bermalam di flying camp yang berjarak seratus meter dari base camp. Mereka cukup jahil untuk menggunakan potongan ayam itu untuk membuat para siswa meneteskan air liurnya dalam materi survival besok.

Lumayan jang ngabibita siswa,” ujar Dodi.

“ Hahaha bener..bener.. usul bagus, Dod,” ujar Bonk yang selalu tertawa.

Beberapa panitia berkumpul di api unggun base camp hingga padamnya kehangatan dari kayu-kayu bakar. Bukan karena suasananya romantis, namun karena tak mambawa sleeping bag, sebagian lagi karena tak kebagian ruang di dalam tenda Wilderness dan Boomerang. Namun rasa kantuk akhirnya tak tertahankan.

Teu kuat tunduh euy. Sare ah,” ujar Bano sambil menguap.

Mawa sleeping bag kitu?” tanya Bar.

“Ah gampang eta mah. Liat aja nanti,” kata Bano. Yang lain jadi penasaran.

Mereka memperhatikan Bano melakukan packing tempat tidurnya. Sekiranya cukup hangat mungkin akan bisa menitipkan “sedikit” kaki-kaki dari gigitan hawa dingin.

“Nih pake ini sama aja.. hangat,” ujar Bano memamerkan peralatan tidurnya berupa plastik packing ukuran besar. Yang lain melongo.

“Hwahahaha ..”mereka pun tak bisa menahan geli.

“Sugan teh sleeping bag goretek.. ternyata goresek,” ujar Akuy takjub.

Iraha rek ka Aconcagua kieu carana mah atuh?” tanya Bais geleng-geleng kepala.

Kumaha maraneh we..yang penting gue bisa tidur,” timpal Bano tak peduli.

Sleeping bag ala Bano cukup membawa kumpulan panitia bertahan beberapa lama lagi di sekitar api unggun. Mereka geli setiap mendengar suara kresek..kresek.. dari sleeping bag Bano.

“Bisa dibawa ka dewan kehormatan sleeping bag kieu mah,” celetuk Wawan.

Pembicaraan melantur terus berlanjut hingga bara api padam. Waktu menunjukkan hampir pukul satu dini hari, sehingga setiap orang lalu mencari ruang ke dalam fly sheet, berharap masih mendapatkan sisa-sisa kehangatan. Beruntung hujan tak turun malam itu, hanya gerimis yang sedikit membelai. Di bawah naungan pohon beringin yang rimbun perlahan-lahan sunyi menyelimuti kawasan base camp, hanya suara kresek..kresek.. dari sleeping bag milik Bano sebentar sebentar terdengar.