Kala divisi ORAD baru berdiri, Palawa Unpad memiliki dua buah perahu yaitu LCR orange dan perahu avon dengan dek kayu. Namun hanya si donat orange yang sering dipakai dalam arung jeram di sungai karena perahu avon sudah bocor sehingga hanya dapat dipakai di Citarum yang durasi pengarungannya pendek. Selain itu bobotnya amat berat, sehingga harus digotong oleh 4 orang. Belum lagi dek kayu di belakang menimbulkan suasana tidak aerodinamis untuk digotong.
“Modol apu urang ngagotong parahu ieu mah euy,” keluh Wawan Barang hiperbolis suatu saat mengomentari bobot perahu ini.
Perahu avon ini hanya turun disaat diklat, yaitu dipakai untuk mengaping siswa melakukan penyeberangan basah di danau. Salah satunya adalah dalam diklat tahun 1993 di Situ Lembang yang melahirkan angkatan Kabut Cijangel.
Usai materi di Situ Lembang yang dilakukan adalah evakuasi peralatan diklat, termasuk perahu badag enjum ini. Dalam hal ini Adjat sebagai sie logistik ketiban pulung mengevakuasi berbagai peralatan berat. Namun ia tidak sendiri karena dibantu oleh teman seangkatan Triyanto dan Bar, sementara yang lain akan meneruskan longmarch menuju Citatah.
Kala mengangkatnya ke mobil bukanlah masalah karena dibantu sepasukan pelatih yang masih bersiaga di Situ Lembang, namun kala menurunkannya dari jalan Teuku Umar menuju sekretariat DIpati Ukur menjadi tak lucu. Ini yang disadari oleh Adjat dan Bar yang duduk didepan, sementara Triyanto yang tidur pulas di atas tumpukan logistik di belakang masih terbuai mimpi kala sampai di depan kampus.
Triyanto yang memiliki perawakan tinggi dan kekar merupakan siswa yang kuat dalam Diklat. Ia juga terbilang nekad, misalnya kala menyelinap dengan ojeg ke warung saat Diklat (Lihat episode Behind the Enemy Line ). “Tong loba teori lah jeung urang mah, nu penting mah POWER jeung KAWANI,” ujarnya sering kali bila terpojok diskusi.
Melihat Triyanto yang tertidur pulas sejak dari Ledeng, timbullah niat jahil dari keduanya untuk mengerjai teman seangkatannya itu.
“Tri maneh pan pangkuatna diantara tiluan, bawa nya Avon,” ujar Adjat.
“Enya, Tri, ngan maneh nu kuat mawana,” tak mau kalah Bar memanasi.
“Hah..naon?” Triyanto masih celingukan bangun dari tidurnya.
“Parahu avon… bagian maneh mawa ka sekret sabab maneh mah kuat,” kembali Adjat mengulangi.
“Kawas Arnold dina pilem Commando si Tri mah, nya Jat,” ujar Bar sambil mengedipkan mata kepada Adjat. Hidung Triyanto mulai membesar oleh puja-puji kedua rekannya.
“Nya kieu we urang mah,” katanya mulai bangga tanpa ingin mementahkan sanjungan itu.
“Tapi acan kabuktian, Tri. Urang can nempo maneh ngangkat nu beurat-beurat,”cetus Bar.
“Tah mawa parahu avon kuat moal cing,” tanya Adjat.
“Nya kuat mah kuat sih…” Triyanto yang tak waspada agak ragu melihat tumpuhan perahu itu.
“Sok atuh buktikeun mun kuat mah. Urang mawa dayung we,” dengan cepat Bar menukas.
“Panci jeung nesting bagian uranglah,” bujuk Adjat seolah-olah membantu Triyanto.
Mempertaruhkan reputasi kekuatannya, Triyanto menelan ludah.. terpaksa mengiyakan sanjungan dan puja-puji dari Adjat dan Bar.
“Bantuan nya..” gumamnya lirih.
“Maenya dibantuan pan kuat,” bujuk Adjat.
“Ulah ngerakeun atuh Tri bisi kaciri ku batur maneh dibantuan,” kata Bar mengingatkan. Padahal tengah malam siapa yang mau memperhatikan.
Terpaksalah Triyanto memaksakan diri mengangkut perahu avon itu sendirian demi sebuah harga diri. Huuup..hiiiiyaaa..ia menaikkan perahu avon itu ke punggungnya, kreekkk..terasa ada yang nyengsol tulang punggungnya. Lalu dengan pelan-pelan menyeret tubuhnya sedikit demi sedikit. Adjat dan Bar mengikuti dari belakang sambil cekikian tertahan. Bar membawa dayung dan Adjat setumpuk nesting.
Hkkkk..heeehh…sesekali terdengar Triyanto menarik nafas. Jalannya mulai tak lurus, sebentar oleng ke kiri sebentar oleng ke kanan.
“Konsentrasi Tri,” seolah Bar membantu.
“Sakeudeung deui, Tri,” Adjat berusaha kelihatan menghibur.
Hkkkk..heeeeh..keringat mengucur deras dari dahi Triyanto. Hampir saja ia mau membanting perahu sialan itu bila tak mendengar pembicaraan kedua temannya dibelakang.
“Wah bener kuatan si Tri euy,”teriak Adjat.
“Urang bangga boga babaturan jiga Triyanto,” tak kurang sigap Bar memuji Triyanto. Demikianlah setiap Triyanto akan berhenti, puja-puji mengalir deras. Siapa bilang ego tak bisa memunculkan kekuatan fisik. Hingga akhirnya sampai juga ke pelataran sekretariat.
GUUBRAAAGGG..perahu avon terbanting dengan keras ke koridor. BLUGGG..! Triyanto menjatuhkan diri diatas avon sambil sebentar-sebentar menarik nadas..heeeehhh heeehhh..Kelihatannya ia tak kuat lagi berdiri, seperti hampir pingsan. Nafasnya memburu, keringat mengucur deras dan matanya berkunang-kunang. Melihat Bar dan Adjat datang di belakangnya sambil tertawa-tawa barulah Triyanto menyadari bahwa dikerjai.
“Guoblog siah….” umpat Tri tersengal-sengal,”..paehan we aing sakalian…. barangsat.. hhhhhhh..”
Sementara Bar dan Adjat meneruskan cekikiannya. Lama sekali.