Behind the Enemy Line (1) : Waduk Saguling

 

1934264_1168508266414_1746216_nPerbandingan jumlah siswa dengan pelatih amat penting dalam sebuah even diklat karena jumlah pelatih yang tidak memadai  akan melonggarkan pengawasan atas siswa. Apalagi bila yang sedang dilatih adalah serombongan siswa yang bandel. Hal ini terasa kala long march dari Bantar Caringin menuju waduk Saguling. Jumlah pelatih yang hanya segelintir itu tak luput diperhatikan dengan seksama oleh barisan siswa yang selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Dalam cuaca terik itu siapapun akan berpikir menyelinap dari barisan kala melewati sebuah warung.

Inilah kesempatan bila akan merembes ke warung, gumam beberapa orang. Maka saat rombongan berhenti longmarch dan membuat base camp di Saguling, segera saja bisik-bisik beredar bahwa hari itu adalah saat yang tepat untuk belanja ke warung memanfaatkan jumlah pelatih yang sedikit. Inilah moment of truth yang ditunggu-tunggu itu.

“Paling loba oge ngan aya opat urang pelatih,” bisik Opik.

“Moal kanyahoan mun ngarembes ka warung ayeuna mah,” gumam Wawan Barang.

“Saha nu arek ngarembes?” tanya Bais sambil pura-pura memeriksa isi dompetnya yang berisi foto personil Duran-Duran.

“Foto saha eta, Bay? John Taylor?” tanya Dodi.

“Huss..!” buru-buru Bais melipat kembali dompetnya.

“Sok kumpulkeun duit na nke urang balanja,” buru-buru  Triyanto mengajukan diri, sadar kalau ia cekak.

“Mbok hati-hati ya Tri,” Flora mengkhawatirkan kenekadan rekan siswa satu ini.

Bivak-bivak pun berkoordinasi mengumpulkan sisa-sisa rupiah yang ada. Mereka yang masih mempunyai cadangan devisa memadai segera menyetorkan daftar belanjaannya ke Triyanto. Bivak putri tentu saja penyumbang devisa paling besar, sementara bivak yang lain sebagian besar hanya sekedar agar tampak eksis.

Lalu disusunlah skenario pelarian untuk menembus barikade pelatih. Juga alasan-alasan untuk menutup kepergian Tri sekiranya ada inspeksi mendadak. Jalur untuk menyelinap pun disurvey dengan seksama.

Dari arah depan jelas tak mungkin karena mencolok dan diawasi oleh pelatih. Dari samping pun resikonya masih terbuka. Maka dipilih jalan belakang, melalui bivak paling ujung yang dihuni grup Dodi, Bar, Firkan dan Dudung. Strategi menembus barikade pelatih ini mirip dengan perang gerilya, yaitu bila dikepung oleh pasukan yang kuat maka seranglah bagian musuh yang paling lemah.

Setelah uang terkumpul, Tri bergegas menuju jalur pelarian sambil melewati bivak paling ujung.

“Mana duitna rek nitip balanja teh?’ tanya Tri.

“Ngan aya sakitu,” Bar memberikan beberapa lembar uang.

“Sakieu mah paling oge ngan cukup jang meuli kurupuk jengkol atuh,” Tri mencibir melihat hanya beberapa lembar.

“Kurupuk jengkol oge di MO mah aza pizza hut,” kata Bar santai.

“Balikna we ngaliwatan kebon nya Tri,” titip Dudung memberi pesan. Tri paham lalu menyelinap pergi mencari tukang ojek.

Sore itu tidak seperti biasanya waktu istirahat terasa lama, semua menunggu harap-harap cemas. Yang paling khawatir tentu Opik dan Luhtfi yang satu grup dengan Triyanto, sebentar-sebentar mereka merangkak-rangkak bagai sniper mengawasi pergerakan basecamp pelatih. Grup bivak paling ujung juga memendam romantisme karena mereka melindungi rute pelarian. Namun satu jam kemudian semua bisa bernafas lega karena Tri kembali dari warung membawa sejinjing kantong kresek besar berisi pesanan semua bivak.

“Untung aya ojek euy, jadi gancang,”  ujar Tri dengan nafas memburu.

Walau hari itu perjalanan longmarch di siang terik sangat menyiksa dengan jalur yang menanjak, di base camp waduk Saguling para siswa menikmati sebuah kemenangan tersendiri. Pahlawan hari itu tentu saja adalah Triyanto yang telah menyelinap behind the enemy line dalam sebuah misi bunuh diri. Namun semua juga memberi kontribusi, dari yang mengawasi pelatih, menyumbang uang hingga yang akan berpura-pura sakit bila ada inspeksi. Sejenak asap rokok mengepul dari area bivak siswa, jajanan murahan dari warung terasa bagai brownies kukus Amanda dan molen Kartika Sari. Eforia penuh semangatpun terasa diseputar bivak.

Memasuki minggu kedua MO, the pack –rombongan siswa- memang harus makin kreatif memanfaatkan kesempatan untuk survive. Semuanya memang untung-untungan dengan peluang fifty-fifty, namun tak ada salahnya untuk mencoba.  Ada juga sih yang ketahuan seperti waktu berjamaah membuang beras karena membebani ransel, ada yang ketahuan membuang mitela rescue yang telah dijadikan tisu untuk BAB, mensabotase jerigennya sendiri supaya tak bisa diisi air, atau kepergok sembunyi di sumur penduduk. Namun intinya tak ada kata menyerah dari the pack selama masih ada yang bisa diakali.

“Tah ieu karak jagung empat rasa,” gumam Dodi sembari memanggang jagung diolesi minyak komando, kecap, blue band dan garam.

Bar dan Firkan meneteskan air liurnya menunggu jagung-jagung itu matang. Bivak ujung kebagian pesanan jagung hasil merembes dari kebun penduduk.

“Halal teu euy ieu hasil ngembat ti kebon batur?” hati nurani Firkan sedikit terusik.

“Tong boro nu halal, nu haram oge hese neangan na, Kan,” cetus Bar tak peduli.

Sementara itu sebagai danpur Dudung cukup bahagia mendapat oleh-oleh cabe rawit, sayur dan palawija yang juga diembat dari kebun-kebun penduduk. Ia sudah menimang-nimang menu masakan untuk makan malam hari itu. Namun Dudung harus segera keluar dari lamunan romantisme memasaknya, karena yang lain takkan berlama-lama membiarkan jagung bakar itu tak tersentuh.