“Omat kudu daratang nya barudak,” ujar Dodi bersungguh-sungguh saat memberikan undangan pernikahan yang akan berlangsung di Yogyakarta.
Maka dua hari jelang acara, meluncurlah tengah malam dari bilangan Tanah Abang menuju Yogyakarta. Opik nyetir mobilnya dengan penumpang Kuphil, Bar dan Vicko. Bano yang tadinya mau ikut belum juga datang, yasudah ditinggal.
“Engke gantian nya mun urang tunduh,” ujar Opik.
“Kalem..,” balas Kuphil yang jadi navigator.
“Urang engke we balikna,” ujar Bar menghindar.
“Saya juga nanti kang, belajar dulu nyetir, ” Vicko yang paling junior tak mau ketinggalan.
Saat pagi merekah, mobil sudah melewati Brebes diputuskan break dulu. Karena masih pagi hanya dipasar yang banyak kuliner, kesanalah mereka menuju. Mereka dadasar sambil sepeminuman kopi dulu.
Sekilas teringat tahun-tahun silam saat mereka seringkali terdampar pagi hari di suatu pasar entah berantah, mencari makan sebelum mulai petualangan. Mereka kembali mengendus hawa petualangan itu.
“Rek beak bensin, ngeusi Pertamax heula euy” ujar Opik. Mereka bertiga pun sum-sum toll dan bensin.
“Saya cuma ada segini kang,” ujar Vicko sambil menyodorkan uang kucel. Yah namanya juga baru berjuang di ibukota.
” Udah buat bayar kopi aja itu, Ko,” balas Opik.
“Siap.”
“Boa Bano teu jadi milu teh embung sum-sum,” tuduh Bar. Hehe bisa jadi.
Kuphil mengambil alih kemudi hingga Yogyakarta, melipir dulu ke kampungnya Gatot di Bantul. Disana Gatot sudah menunggu, besok akan bareng ke kawinan.
Lalu tiba-tiba hp Opik berbunyi.
“Bano nelpon..,’ ujarnya.
Bano merasa ditinggalkan.
“Lah kan bisa mampir ke Cibinong..” ujarnya bersungut-sungut. Junior ini suka kelewatan, gerutunya.
“Ditunggu di Jogja aja,” ujar Opik santai.
“Make naon? Pesawat? Daek maraneh ngongkosin” Bano masih kesal.
“Ya itu mah urusan maneh ,” semua tertawa-tawa.
Kurang ajar junior ini, pikir Bano, kudu di pusprop ieu mah, awas tingalikeun dikira gue ga bisa.
Siang hari terasa ngajeos di Jogja, semua mencari kesejukan di rumah joglo kerabat Gatot. Atap yang tinggi membuat angin semilir membawa sejuk. Semua tiarap menunggu sore.
Lalu ada telpon lagi dari Bano.
” Saya mau terbang ke Jogja. Ini sudah mau boarding. Nanti ketemu di Jogja” ujar Bano. Hehe tingalikeun tah kelas gue.. pikir Bano puas dengan pusprop nya. Senyumnya mengembang penuh kemenangan.
Wuih hebat kali Bano, semua berpikir, sampai mendadak beli tiket flight. Padahal tiket dibelikan kang Ai setelah Bano sasadu ke seniornya itu.
Sore hari rombongan ditambah Gatot kali ini, meluncur ke arah kota. Nangkring disekitar stasiun Tugu menikmati kopi arang sambil menunggu Bano mendarat. Benar tak lama kemudian menghubungi. Berarti baru mendarat.
“Woy ketemu dimana nanti saya pan teu apal Jogja”
Semua lalu bisik-bisik diskusi.
“Ya sudah di Sarkem aja, No.”
“Siap.”
Sejam kemudian meluncur ke Sarkem alias Pasar Kembang,tempat legendaris di Jogja. Kalau di Bandung ya seperti Saritem lah. Kalo arah Sumedang dulu itu seperti Ciromed.
Tak sulit menemukan yang dicari karena Bano mengambil posisi seperti tak mau membaur dengan suasana Sarkem. Begitu mobil mendekat dia langsung loncat kedalam dengan muka merah padam.
“Goblog..goblog.. bangsat…sugan aing teh Sarkem teh tempat naon..” Bano bersungut-sungut merasa dijahili. Semua terbahak-bahak.
“Saya kan ga enak…tadi minta dijemput anggota di bandara lalu minta anter ke Sarkem..” protesnya. Lalu cerita :
‘Wah Sarkem..ga salah pa’
‘Kenapa’
‘Ada yang lebih nyaman pak’
‘Sudah Sarkem aja’
‘Nganu pak.. itu kan buat yang bawah’
Bano yang kurang paham penjelasan anggota nya, minta dianter kesitu saja. Begitu turun di Sarkem, pengantarnya langsung ngacir.
Lah, kok…Bano heran, baru juga mau ngasih tip. Bano melihat ke sekeliling. Loh tempat apa ini..
“Mampir mas”
“Diskon kalo anggota”
Muka Bano merah padam baru tau kalo Sarkem itu lokasi prostitusi. Goblogg.. ia buru buru bergeser, namun tidak bisa terlalu jauh meninggalkan koordinat.
(2008)
pusprop = perang urat syaraf dan propaganda