Reformasi Diklat TS

207714_1015797247986_3727_n

 

“Tak ada kontak fisik sebelum memasuki medan operasi gunung hutan..” Dodi yang menjabat DanOps bergumam agak ragu kala akan memulai medan operasi diklat kala itu.

“Kumaha tah, Ter?” tanyanya pada Tera, DanTatib abadi diklat.

“Konsesnsus memang seperti itu..rek kumaha deui” ujar Tera.

Medan gunung hutan memang diberikan sebagai materi terakhir dalam diklat kali ini. Medannya pun tak biasa yaitu dengan terus bergerak dari Sanggara menuju Manglayang. Baru pada diklat kali inilah rute ini dipakai, dimana upacara pelantikan dilakukan di kampus Jatinangor. Romantisme sekaligus visioner, karena baru delapan tahun kemudian sekretariat pindah ke Jatinangor. Dalam hal upacara pelantikan barangkali angkatan Tapak Sanggara sudah menorehkan sejarah sebagai angkatan pertama yang dilantik di kampus Jatinangor.

Jadi segemas apapun pelatih pada para siswa tetap tak diperbolehkan menyentuh permukaan kulit mereka. The authority of any governing institution must stop at its citizen’s skin, itulah konsensus diantara panitia. Setidaknya sebelum memasuki medan operasi gunung hutan.

Urang mah geus geregetan ka siswa, euy,” ujar Tera sejak di Gua Pawon.

“Konsesnsus memang seperti itu..rek kumaha deui” kini giliran Dodi bersimpati pada Tera yang sudah gemas ingin memberi gepuk. Masih beberapa hari lagi sebelum rombongan tiba di hutan Bukittunggul.

Keinginan untuk menjaga kondisi siswa memang menggebu, sehingga panitia mencoba meminimalisir efek fisik pada siswa. Tes fisik dan kesehatan tak sembarangan dilakukan, bahkan dilakukan rontgen untuk mendeteksi kelainan jantung dan organ dalam. Ditahap ini saja sudah banyak calon siswa berguguran seperti daun kering di musim gugur. Tak heran karena banyak dari calon siswa sendiri pun bahkan baru tahu bila mereka memiliki kelainan dalam kesehatannya.

“Sedikit saja ada keraguan akan keselamatan siswa, lebih baik hapus saja materinya sekalian,” tegas Bar yang menjabat DanLat kala itu. Maka ketika debit air naik, materi arung jeram pun diganti dengan pengenalan sungai saja walau rombongan grand army sudah tiba di tepian sungai Citarum.

Sejak jalur longmarch Bukittunggul–Manglayang dipakai, kedua kampus seakan memiliki ikatan batin dalam sanubari para legiuner petualang. Tak asing satu sama lain, dan ketika medan ini dipakai maka setiap orang tahu bahwa Tapak Sanggara (TS) merupakan angkatan pertama yang menembus kelebatan hutan ini. Walau kemudian tak dalam setiap diklat  jalur long march itu digunakan, namun hampir setiap anggota pastinya pernah melalui jalur yang berliku-liku dan naik turun gunung sepanjang “jalan belakang” dari Dipati Ukur menuju Jatinangor ini. Jalur Lembang menuju Jatinangor seperti sebuah way of life yang menghubungkan kampus di Bandung dengan kampus di Jatinangor. Sebuah jalur klasik yang wajib diketahui dan dimaknai.

Perjalanan ke puncak Sanggara kala itu bukanlah perjalanan ongkang-ongkang kaki yang ringan. Dalam cuaca hujan kerap harus menggunakan tangan untuk menjangkau akar dan batang pohon untuk membantu mendaki.  Hutan di kawasan Sanggara memang bukan taman yang manis seperti di Dago Pakar. Disini masih dapat dijumpai hutan purba dengan pepohonan yang berselimut lumut, pacet selalu siap menempel bila tak awas dan nyamuk hutan kerap mengerubuti kala beristirahat. Di kelebatan hutan ini pula, privillege siswa menghilang. “Gepuk” siap dibagikan oleh pelatih bila ada pelanggaran, hingga nanti mereka turun di Jatinangor.

Banyak romantisme, rasa getir sekaligus idealisme dalam medan operasi. Barangkali itu yang membuat Sanggara membekas bagi para peserta, tak saja siswa namun juga pelatih. Dengan menapaki bukit yang berketinggian 1.900 meter itu, tersirat sebuah keinginan dari panitia untuk menjadikan sebuah diklat yang lebih baik.